Dialektika Keterasingan dan Nurani Bangsa dalam film 'Gie'

 KRITIK FILM

 Gie (2005) karya Sutradara Riri Riza










“Dialektika Keterasingan dan Nurani Bangsa dalam film 'Gie'”






Penulis: Jeru Pasaribu











Sebuah Pembacaan Ulang atas Teks Sinematik film Gie 

karya sutradara Riri Riza di Tengah Proyeksi isu sosial 2025.


Memandang kembali film Gie, di situasi tahun ini yang diwarnai kecemasan sosial-ekonomi, adalah sebuah latihan intelektual 

yang mendesak. 




Dirilis pada tahun 2005, tujuh tahun setelah runtuhnya Orde Baru, film ini tidak hanya berfungsi sebagai dokumen historis yang merekonstruksi era 1960-an yang penuh gejolak.


Tetapi juga sebagai cermin reflektif bagi era Pasca-Reformasi, yang mempertanyakan kembali hakikat idealisme, aktivisme, dan perubahan politik di Indonesia.


Film ini melampaui fungsinya sebagai biopik historis; ia adalah sebuah teks sinematik yang kompleks. Artikulasinya yang visual dan naratif menawarkan sebuah tata bahasa untuk membaca zaman kita sendiri. 


Krisis, sebagaimana yang diajarkan oleh sejarah, selalu menjadi medan pertempuran gagasan sebelum menjadi medan pertempuran fisik.

 

Dalam film Gie, tidak sekadar merekonstruksi biografi, 

Soe Hok Gie; ia merekonstruksi sebuah kesadaran, sebuah cara memandang yang relevansinya justru semakin menguat saat fondasi 

persatuan kita terasa bergetar.


Keterasingan (Alienation), yang didefinisikan sebagai sebuah kondisi keterpisahan multifaset—terasing dari masyarakat, dari rekan seperjuangan, dari hasil perjuangannya sendiri, dan pada puncaknya, dari dirinya sendiri.


Kerangka kerja ini meminjam gagasan dari pemikiran filsafat dan sosiologi, terutama gagasan Karl Marx dan Erich Fromm, mengenai bagaimana struktur sosial-politik dapat menginduksi perasaan ketidakberdayaan, keterpisahan, dan isolasi. 


Keterasingan Gie bukanlah patologi, melainkan sebuah posisi sadar yang dipilihnya.


Nurani Bangsa, sebuah konsep yang akan diinterpretasikan melalui lensa conscience collective (kesadaran kolektif) dari sosiolog Émile Durkheim. 


Konsep ini merujuk pada totalitas kepercayaan, sentimen, dan moralitas yang dianut bersama oleh anggota masyarakat dan berfungsi sebagai kekuatan pemersatu yang tak terlihat. 







Film Gie menggambarkan "nurani" ini bukan sebagai entitas yang statis dan monolitik, melainkan sebagai sebuah arena pertarungan yang dinamis, terfragmentasi, dan penuh kontestasi selama periode peralihan dari Demokrasi Terpimpin Orde Lama ke rezim otoriter Orde Baru.


Film Gie secara cemerlang membangun sebuah dialektika, di mana eskalasi keterasingan Soe Hok Gie bukanlah sekadar tragedi personal, melainkan sebuah respons kritis yang tak terhindarkan terhadap kegagalan Nurani Bangsa itu sendiri. 


Keterasingannya, dengan demikian, dibingkai ulang bukan sebagai kelemahan, tetapi sebagai kondisi yang niscaya, 

meskipun menyakitkan—untuk mempertahankan integritas moral dan intelektual di tengah arus zaman yang berkhianat.


Alienasi Intelektual dan Moral: Kesendirian di Tengah Arus Karakter Soe Hok Gie dalam film ini didefinisikan oleh intoleransinya yang absolut terhadap ketidakadilan dan kemunafikan. Ia memilih untuk berdiri sendiri, menolak untuk meleburkan identitasnya ke dalam satu entitas politik partisan mana pun, karena ia meyakini bahwa aktivisme mahasiswa seharusnya menjadi kekuatan moral murni, bukan batu loncatan untuk kekuasaan politik praktis.


Hal ini secara simbolis digambarkan melalui adegan di mana ia mengirimkan paket berisi bedak, lipstik, dan cermin kepada teman-temannya yang telah menjadi anggota Dewan. Gestur singgungan ini adalah simbol kuat dari penghinaannya terhadap apa yang ia anggap sebagai kesia-siaan dan pengabaian mereka terhadap idealisme awal perjuangan.


Lebih dari sekadar perasaan, keterasingan Gie berfungsi sebagai sebuah alat epistemologis, sebuah metodologi untuk mencapai kejernihan berpikir. Keterasingannya bukanlah sebuah kelemahan, melainkan sumber kekuatannya. 

Jarak tersebut memberinya kejernihan untuk melihat "kemunafikan dan slogan-slogan" kosong yang luput dari pandangan orang lain yang telah terbuai oleh arus. Isolasi, bagi Gie, adalah harga yang harus dibayar untuk sebuah pemahaman yang utuh dan tidak tercemar. Ia harus menjadi orang luar untuk dapat menjadi pengamat dan kritikus yang efektif.




Sinematografi Keterpencilan: Visualisasi Jiwa yang Terasing

Pilihan-pilihan estetika dalam film Gie secara konsisten memperkuat tema sentral keterasingan. Palet warna film yang cenderung desaturasi dengan nuansa kekuningan menciptakan atmosfer nostalgia yang puitis sekaligus melankolis, seolah-olah seluruh cerita adalah kenangan yang memudar. 


Secara visual, kamera sering kali membingkai Gie sebagai sosok soliter yang kontras dengan lingkungannya. Ia ditampilkan kecil di hadapan lanskap pegunungan yang megah dan agung, atau tersesat dalam kerumunan massa demonstran yang riuh. 

Motif visual ini berfungsi sebagai eksternalisasi dari kondisi batinnya yang terpencil. 


Komposisi Adu Domba: Politik Pandangan dalam Ruang Sempit

Kritik paling tajam Gie terhadap politik adu domba tidak diteriakkan dalam adegan-adegan demonstrasi massa yang kolosal. 


Sebaliknya, ia dibisikkan melalui pilihan-pilihan sinematografi 

dan penata kamera di dalam ruang-ruang diskusi mahasiswa 

yang pengap dan berasap.


Perhatikan bagaimana kamera mengobservasi dinamika para aktivis. 

sering menggunakan medium shot dengan pergerakan kamera yang minimalis, seolah-olah menolak untuk berpihak. Kamera menjadi saksi yang dingin, memaksa penonton untuk fokus pada retorika yang terucap dan, yang lebih penting, pada pergeseran bahasa tubuh dan tatapan mata.



Dalam sekuens diskusi yang memanas, Gie seringkali diposisikan secara janggal dalam komposisi visual. Ia mungkin berada di tepi frame, terisolasi dari kelompok yang berkerumun di tengah, atau terhalang oleh objek-objek latar depan (seperti punggung temannya atau tiang ruangan).Pilihan framing ini adalah sebuah pernyataan: keterasingan Gie bukan hanya soal kepribadian, melainkan sebuah posisi ideologis. 



Saat kawan-kawannya mulai terbawa arus polarisasi dan menyederhanakan dunia menjadi hitam-putih, Gie secara visual "diasingkan" oleh kamera karena menolak simplifikasi tersebut.Inilah visualisasi dari perpecahan itu sendiri; sebuah retakan yang dimulai dari cara memandang dunia, jauh sebelum ia meledak di jalanan. Kamera tidak hanya merekam perdebatan; ia memetakan topografi sebuah perpecahan.



Karakterisasi Melalui Keheningan: Melawan "Mafia" 

dengan Tatapan Mata

Bagaimana sebuah film menggambarkan perlawanan terhadap musuh yang tak bernama—sebuah sistem korup yang disebut "agenda mafia"?, Film Gie menjawabnya melalui karakterisasi tokoh utamanya yang dibangun di atas keheningan. Narasi sulih suara (voice-over), dengan intensitas yang tertahan dan meyakinkan , menjebak penonton di dalam kesadaran subjektif sang protagonis.


Kita menyaksikan peristiwa-peristiwa sejarah yang agung, namun kita mengalaminya melalui filter pandangan Gie yang sepi, kritis, dan sering kali pedih. Adegan-adegan terakhir di puncak Gunung Semeru, di mana ia akhirnya menemukan kedamaian hanya dalam pelukan alam, jauh dari kemunafikan masyarakat manusia, berfungsi sebagai metafora visual pamungkas untuk keterasingan totalnya—sebuah "pelarian" terakhir menuju kemurnian yang tidak bisa ia temukan di dunia politik.


Kekuatan Gie tidak hanya terletak pada volume suaranya, melainkan pada intensitas tatapan matanya yang resah, pada cara ia menghisap rokoknya dalam-dalam seolah sedang menghirup kebusukan zaman, pada gestur-gestur kecil yang menyiratkan pergulatan batin yang hebat.


Identifikasi kita terhadap karakter Gie tidak dibangun melalui dialog-dialog heroik, melainkan melalui akses eksklusif ke dalam pikirannya via narasi voice-over yang diambil dari buku catatannya. Terjadi sebuah dialektika yang menarik: di luar, Gie adalah sosok yang kikuk secara sosial dan seringkali pasif dalam observasinya; di dalam, pikirannya adalah medan pertempuran kata-kata dan gagasan yang membara. 


Pilihan naratif dan visual ini adalah kunci untuk memahami perlawanannya. Gie melawan "mafia" bukan dengan mengangkat senjata, tetapi dengan senjata paling tajam yang ia miliki: kejujuran intelektual dan keberanian untuk menuliskan kebenaran itu.


Keterasingan nya, yang divisualisasikan dengan begitu kuat, 

menjadi benteng moralnya.Ia harus menjaga jarak dari hiruk pikuk politik praktis untuk menjaga kejernihan analisisnya—sebuah kemewahan yang tidak dimiliki oleh mereka yang telah terseret dalam permainan kekuasaan.


Alienasi Eksistensial dan Etnis

Lapisan keterasingan Gie yang paling dalam melampaui ranah politik dan sosial, merasuk hingga ke jantung eksistensinya. Catatan hariannya, yang menjadi narasi utama film, 

mengungkapkan pesimisme filosofis yang mendalam. Sebuah kutipan kunci dari buku hariannya yang divisualisasikan dalam film menangkap esensi keterasingan ini: "Kita adalah arsitek nasib kita, tapi kita tak pernah dapat menolaknya. Kita asing, ya kita asing dari ciptaan kita sendiri". Pernyataan ini mencerminkan kekecewaan yang luar biasa terhadap agensi manusia itu sendiri. 


Ia melihat umat manusia, termasuk gerakan mahasiswa yang ia geluti, menciptakan struktur kekuasaan baru (Orde Baru) hanya untuk kemudian terasing dari ideal-ideal luhur yang melahirkannya. Perjuangan yang bertujuan membebaskan justru melahirkan bentuk penindasan baru, menjadikan para penciptanya "orang asing" dari ciptaan mereka.


Keterasingan eksistensial ini diperparah oleh identitas etnisnya. Sebagai seorang Tionghoa-Indonesia, Gie menempati ruang sosial yang genting dan ambigu. Pada masa itu, komunitas Tionghoa sering kali dipandang dengan curiga dan terperangkap dalam posisi "simalakama": jika mereka terlibat dalam politik oposisi, mereka akan dicap subversif; jika mereka mendukung penguasa, mereka dianggap oportunis. 

Meskipun Gie adalah seorang nasionalis yang gigih memperjuangkan Indonesia, identitas fisiknya menandainya sebagai "yang lain" dalam sebuah masyarakat di mana isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan) sangat sensitif dan sering kali dipolitisasi. Dengan demikian, Gie adalah seorang outsider dalam segala hal: ia terasing karena prinsip, karena filsafat hidupnya, dan karena takdir kelahirannya.


Alur Episodik Sebagai Representasi Sejarah yang Tercabik

Struktur plot Gie menolak alur tiga babak konvensional.


Alih-alih, ia bergerak secara episodik, melompat dari satu momen penting ke momen lainnya, persis seperti membaca halaman-halaman acak dari sebuah buku harian. 


Pilihan struktur naratif ini bukanlah sebuah kelemahan,

melainkan argumen utama film ini. Sejarah, terutama di masa transisi yang penuh gejolak, tidak pernah terasa sebagai sebuah narasi yang utuh dan koheren. Sebaliknya, ia dialami sebagai serpihan-serpihan peristiwa, fragmen-fragmen percakapan, 

dan ledakan-ledakan kekerasan yang membingungkan.


Alur yang fragmentaris ini mencerminkan kondisi Bhinneka Tunggal Ika yang sedang tercabik. Persatuan nasional bukanlah sebuah garis lurus, melainkan sebuah usaha terus-menerus untuk menjahit kembali sobekan-sobekan. 




Film ini menyandingkan peristiwa-peristiwa personal Gie dengan cintanya yang canggung, persahabatannya, dan kecintaannya pada alam dengan peristiwa-peristiwa makro-historis. 


Dengan demikian, menegaskan bahwa ancaman terhadap persatuan bangsa terasa dampaknya hingga ke level paling personal: 

ia merusak persahabatan, mengkhianati cinta, dan pada akhirnya, mengisolasi individu. 


Puncak perjalanan Gie di puncak Semeru, yang seharusnya menjadi momen transendental, justru diwarnai oleh ambiguitas tragis. Kematiannya yang sunyi di gunung adalah metafora pamungkas: seorang patriot yang begitu mencintai negerinya, namun akhirnya mati dalam kesendirian, terasing oleh kebisingan politik yang gagal ia damaikan.


Dialektika: Benturan Nurani Individu dan Kolektif dalam Narasi 

Bagian sentral ini mensintesiskan dua bagian sebelumnya, dengan fokus pada interaksi dinamis—dialektika—antara nurani Gie yang individual dan terasing dengan nurani bangsa yang kolektif dan terkompromikan.


Tabel berikut ini dirancang untuk memberikan visualisasi yang jelas dan terstruktur mengenai konflik inti film. Dengan menjajarkan kondisi internal dan tindakan Gie secara langsung dengan peristiwa sosio-politik eksternal, tabel ini menunjukkan bagaimana keterasingan pribadinya merupakan reaksi konstan dan langsung terhadap pergeseran suasana hati nasional, menyoroti hubungan sebab-akibat yang menjadi jantung narasi film.



Tabel 1: Tensi Dialektis dalam Film 'Gie'

Manifestasi Nurani Individu Gie (Keterasingan)

Manifestasi Nurani Bangsa (Kesadaran Kolektif)

Titik Benturan / Interaksi Dialektis dalam Film

Prinsip Kejujuran Intelektual: Menentang plagiarisme dan slogan kosong di ruang kelas.

Kolektivisme Orde Lama: Mengutamakan slogan revolusioner dan sentimen anti-Barat di atas kebenaran objektif.

Gie secara terbuka menantang gurunya, mengasingkan diri dari norma kelas demi prinsip kebenaran universal.

Aktivisme Moral Independen: Menulis kritik tajam terhadap pemerintah dan menolak bergabung dengan organisasi partisa

Kelahiran KAMI & Tritura: Munculnya kesadaran kolektif mahasiswa yang kuat dengan tujuan politik yang jelas (menghancurkan PKI).

Gie mendukung tujuan Tritura tetapi menjaga jarak dari KAMI, mengkritik aliansi mereka dengan militer, yang membuatnya terasing dari arus utama gerakan.

Kekecewaan pada Kompromi: Mengirim paket kosmetik sebagai sindiran kepada teman-teman aktivis yang menjadi anggota DPR.

Kooptasi oleh Orde Baru: Mantan aktivis berasimilasi ke dalam struktur kekuasaan baru, menukar idealisme dengan jabatan dan kenyamanan.

Puncak keterasingan Gie dari generasinya sendiri. Ia melihat "Nurani Bangsa" yang baru telah mengkhianati dirinya sendiri.

Pencarian Makna di Alam: Mendaki gunung sebagai cara menemukan patriotisme sejati dan melarikan diri dari kemunafikan politik.

Politik Urban yang Korup: Pusat kekuasaan (Jakarta) digambarkan sebagai tempat yang penuh intrik, kekerasan, dan kebohongan.

Gie secara fisik dan spiritual menarik diri dari pusat "Nurani Bangsa" yang korup, menemukan nurani yang lebih murni di alam.

Penolakan Hubungan Konvensional: Ketidakmampuan menjalin hubungan penuh dengan Sinta yang materialistis.

Nilai-nilai Borjuis: Masyarakat kelas atas yang menghargai status, kekayaan, dan koneksi politik di atas prinsip.

Alienasi Gie dari struktur sosial dan romantis yang dianggapnya dangkal, memperkuat statusnya sebagai orang luar.




Gie sebagai Pemicu sekaligus Pengkritik Nurani Bangsa

Gie bukanlah korban pasif dari keadaan. Tulisan-tulisannya di surat kabar dan pidato-pidatonya adalah tindakan sadar yang bertujuan untuk memprovokasi, mempertanyakan, dan pada akhirnya memurnikan nurani bangsanya. Ia berperan sebagai gadfly (lalat pengganggu), seperti yang digambarkan Socrates—seseorang yang terus-menerus mengusik kemapanan demi kebaikan yang lebih besar.

Ketika Nurani Bangsa bersatu, Gie adalah bagian dari paduan suara itu. Namun, pada saat kesadaran kolektif yang baru itu mulai mengeras dan menunjukkan tanda-tanda kemunafikan, nurani individunya segera memisahkan diri untuk melancarkan kritik.

Oleh karena itu, ia berada dalam hubungan dialektis yang konstan dengan kolektif: ia membantu membentuknya, tetapi peran utamanya adalah berdiri di luarnya untuk membuatnya tetap bertanggung jawab. Keterasingannya adalah sumber dari kekuatan kritisnya.

"Lebih Baik Diasingkan": Puncak Keterasingan sebagai Sikap Moral Tertinggi

Kutipan terkenal ini adalah resolusi dari dialektika pribadi Gie. Dihadapkan pada pilihan antara bergabung dengan sebuah kolektivitas yang terkompromikan atau menerima isolasi total, ia secara sadar memilih yang kedua. 

Film ini menyajikan pilihan tersebut bukan sebagai kegagalan untuk beradaptasi, melainkan sebagai bentuk kemenangan moral tertinggi. Dalam masyarakat di mana Nurani Bangsa telah terkooptasi dan terkorupsi, integritas sejati hanya dapat eksis dalam pengasingan darinya. 


Keterasingan berhenti menjadi beban psikologis dan bertransformasi menjadi sebuah posisi etis—sebuah deklarasi kemerdekaan dari sebuah kolektivitas yang telah kehilangan arah.

Kesimpulan: Relevansi Keterasingan Gie bagi Nurani Bangsa Kontemporer

Film Gie adalah sebuah eksplorasi yang mendalam dan canggih mengenai dialektika antara integritas individu dan moralitas kolektif. Melalui narasi, karakterisasi, dan pilihan estetikanya, film ini berargumen bahwa keterasingan mendalam yang dialami Soe Hok Gie bukanlah gejala kegagalan pribadi, melainkan hasil yang logis dan niscaya dari sebuah kehidupan berprinsip yang dijalani di masa kompromi politik yang luar biasa. 


Kisahnya adalah sebuah kesaksian bahwa nurani sebuah bangsa bukanlah entitas monolitik, melainkan sebuah arena perjuangan yang tak pernah usai, yang sering kali diterangi paling jelas oleh mereka yang berani berdiri terpisah darinya.


film ini berfungsi sebagai cermin bagi generasi mana pun, yang mendorong untuk mempertanyakan kesehatan Nurani Bangsa Indonesia kontemporer. Film ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang relevan hingga hari ini: Apakah gerakan-gerakan sosial saat ini telah mempertahankan integritasnya? 


Apakah idealisme telah ditukar dengan pragmatisme dan kekuasaan? Sosok Gie, sang kritikus yang terasing secara abadi, tetap menjadi tolok ukur yang kuat dan menggelisahkan untuk mengukur nurani bangsa, baik dulu maupun sekarang. 



Kisahnya mengukuhkan peran yang sepi, sulit, namun esensial dari seorang outsider sebagai penjaga sejati jiwa sebuah bangsa.



Menghadapi 2025, film Gie tidak menawarkan solusi, namun ia mempertajam diagnosis. 

Gie mengajarkan kita untuk waspada pada retorika yang memecah belah, untuk melihat bagaimana komposisi kekuasaan menempatkan sebagian dari kita di tepi frame, dan untuk memahami bahwa melawan keburukan sistem terkadang dimulai dari tindakan paling sunyi: menjaga kewarasan dan nurani kita sendiri.









Komentar


  1. Sebuah Pembacaan Ulang atas Teks Sinematik film Gie, karya sutradara Riri Riza di Tengah Proyeksi isu sosial 2025.

    BalasHapus
  2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  3. Keterasingan (Alienation), yang didefinisikan sebagai sebuah kondisi keterpisahan multifaset—terasing dari masyarakat, dari rekan seperjuangan, dari hasil perjuangannya sendiri, dan pada puncaknya, dari dirinya sendiri.

    BalasHapus

Posting Komentar