> Hidup Bersama dalam Masyarakat Majemuk
Baca dan Renungkan: Mazmur 133; Matius 22:37-39
Hidup bersama dalam masyarakat majemuk dapat
dilakukan dengan sikap toleransi, saling menghormati, dan menghargai
perbedaan. Kemampuan ini harus dipelajari sejak dini, misalnya di sekolah.
Sikap yang dapat dikembangkan
- Toleransi,
sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan
- Empati,
sikap yang dapat menumbuhkan kepedulian dan kesetiakawanan sosial
- Inklusif,
sikap terbuka terhadap perbedaan
- Saling
percaya, sikap yang dapat meningkatkan kebahagiaan
- Kerja
sama, kerja sama dengan orang-orang beragama lain dapat menjaga kerukunan
Contoh kegiatan yang dapat dilakukan
- Gotong
royong untuk membantu sesama
- Menjaga
kerukunan di lingkungan sekitar
- Saling
berbagi tanpa membedakan latar belakang orang lain
- Memanfaatkan
perbedaan sebagai kekayaan budaya dan interaksi sosial
Manfaat hidup bersama dalam masyarakat majemuk Meningkatkan
kebahagiaan, Membangun rasa saling percaya, Membangun kompetensi kolaboratif,
Membangun resiliensi dan ketahanan dalam menghadapi krisis dan bencana,
Memperkaya kebudayaan dan interaksi sosial.
Dasar hidup bersama dalam masyarakat majemuk
- Pancasila
sebagai alat pemersatu bangsa dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika
Masyarakat majemuk adalah masyarakat yang
terdiri dari berbagai suku, hal ini dapat diartikan sama dengan masyarakat
plura atau pluralistik. Kita adalah orang Indonesia yang beragama, artinya
keberagamaan kita hendaknya ditempatkan dalam rangka hidup bersama sebagai satu
bangsa.
Dalam kerangka inilah dibutuhkan kesadaran inklusif untuk menerima
berbagai perbedaan yang ada sebagai kekayaan bangsa Indonesia dan bersedia
membangun kerja sama yang konstruktif dalam rangka memecahkan masalah-masalah
kemanusiaan yang dihadapi. Orang kristen terpanggil untuk menyatakan kasih
Allah ditangah bangsa yang majemuk tanpa harus kehilangan imannya.
Masyarakat
Indonesia yang Majemuk
Di dunia ini banyak negara yang memiliki keberagaman namun Indonesia
memiliki beribu pulau baik yang kecil maupun besar memiliki suku, budaya,
bahasa dan agama yang amat beragama. Hal ini merupakan kekayaan yang patut
disyukuri namun keberagaman ini juga dapat menjadi akar konflik dan perpecahan
jika tidak dikelola dengan baik.
Sejarah telah membuktikan itu, yaitu ketika di beberapa daerah terjadi
konflik yang berlatar belakang suku dan agama. Keberagaman memang dapat menjadi
akar konflik namun konflik akan semakin parah ketika orang tidak mengenyam
pendidilkan yang cukup. Ketika orang tidak berpendidikan maka mereka akan
sangat gampang diprovokasi dan mengalami apa yang disebut “brain wash” atau
otaknya dicuci sehingga kurang memiliki kemampuan untuk membedakan mana fakta
dan mana provokasi.
Hal itu semakin parah karena di zaman digital ini sebuah berita bohong
akan cepat beredar ke tiap pelosok tempat. Karena itu seiring dengan gencarnya
upaya pemerintah untuk mengembangkan apa yang disebut sebagai moderasi
beragama, hendaknya diikuti dengan pembangunan pendidikan dan pemberantasan
buta huruf.
Hanya pendidikanlah yang akan mampu meminimalisir pengaruh-pengaruh
negatif dan bentuk-bentuk provokasi yang mengadu domba umat beragama. Beberapa
konflik besar yang pernah terjadi di beberapa wilayah di Indonesia meninggalkan
kenangan pahit yang cukup membekas dihati sanubari orang-orang yang mengalami
akibat dari konflik tersebut.
Daerah Papua, Ambon , Poso dan Sampit adalah daerah-daerah dimana
terjadi konflik yang membawa kematian cukup banyak orang. Prasangka etnis, suku
dan agama memang amat mudah dibangun ditengah masayarakat yang masih berpikiran
sempit. Oleh karena itu pemerintah kini gencar melakukan sosialisasi “moderasi
beragama” yaitu pengakuan atas keberadaan pihak lain, memiliki sikap toleran,
penghormatan atas perbedaan pendapat dan tidak memaksakan kehendak dengan cara
kekerasan.
Diperlukan peran pemerintah, tokoh masyarakat, dan para penyuluh agama
untuk mensosialisasikan, menumbuhkembangkan moderasi beragama kepada masyarakat
demi terwujudnya keharmonisan dan kedamaian.
Namun demikian, kehidupan keberagamaan yang penuh toleransi itu bukan
hanya lahir dari aturan pemerintah namun harus dikondisikan terutama dari dalam
keluarga melalui pola asuh yang inklusif dimana anak-anak dididik oleh orang
tuanya untuk selalu berbaik sangka, berpikir positif terhadap orang lain,
mengasihi sesama tanpa memandang perbedaan latar belakang agama dan suku.
Jadi pembentukan visi pembiasaan hidup terutama dibentuk dalam keluarga
dan ditopang melalui lembaga pendidikan yang semakin memperkuat nilai-nilai
toleransi dalam diri seseorang.
Ada seorang tokoh studi agama-agama, Paul Knitter yang mengatakan bahwa
kebenaran sebuah agama adalah berkontribusi pada tindakan manusia yang mengarah
pada keadilan lingkungan dan manusia.
Artinya bahwa agama baru menjadi agama yang benar ketika berkontribusi
pada keadilan dan kemanusiaan bukan hanya memiliki doktrin atau ajaran saja
namun yang mewujudkan ajarannya dalam kehidupan nyata bagi kemanusiaan dan
keadilan.
Itu berarti ketika kita mendiskusikan mengenai hubungan antar umat
beragama maka diskusi itu hendaknya dimulai dari titik berangkat kemanusiaan
dan keadilan dan hal itu hendaknya dijadikan titik temu agamaagama dan
pemeluknya.
Bahwa agama hadir untuk kebaikan manusia untuk membangun solidaritas
dalam memecahkan masalah-masalah kemanusiaan secara bersama-sama
Ada beberapa
sikap yang umumnya diambil orang ketika ia berhadapan dengan orang yang
berkeyakinan lain:
1. Semua agama sama saja:
Sikap ini melihat semua agama itu relatif. Tak satu agama pun yang dapat
dianggap baik. Jika tak ada agama yang dipandang baik, maka hanya diri si
pemikir sendirilah yang benar. Lalu mengapa ia beragama? Agama menjadi sarana
bagi manusia dalam mewujudkan imannya.
Agama mengajarkan ajaran iman sebagai penuntun hidup jika hal itu
dipandang sama dalam semua agama maka orang tidak perlu beragama atau memeluk
semua agama sekaligus dan betapa kacaunya jika hal itu terjadi.
2. Hanya agama saya yang paling baik dan benar:
Agama lainnya tidak benar, ajarannya sesat karena itu saya tidak perlu
bergaul dengan mereka. Sikap seperti ini lahir dari fanatisme yang berlebihan
seperti penyakit akut dan paham seperti ini akan menjadi bibit konflik yang
berkepanjangan.
Ketika kita mengklaim bahwa agama kita saja yang paling benar, hal itu
menyinggung rasa nyaman orang-orang beriman lainnya. Orang yang beragama lain
semata-mata dipandang sebagai objek, sasaran, target, untuk diinjili.
Pendidikan Agama Kristen di sekolah bukanlah penginjilan dalam
pengertian “siar agama” karena pendidikan agama di sekolah harus taat kepada UU
Sisdiknas. .
3. Toleransi:
Saya bersedia hidup berdampingan dengan orang yang beragama lain, tetapi
hanya itu saja. Lebih dari itu saya tidak mau. Seruan “toleransi antar umat
beragama” seringkali disampaikan oleh pemerintah. Orang-orang yang berbeda
agama diajak untuk bersikap toleran.
Namun sikap ini pun tampaknya tidak cukup. Kata “toleransi” sendiri
mengandung arti bersifat atau bersikap menenggang (menghargai, membiarkan,
membolehkan) pendirian ( pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan, kelakuan
dan sebagainya) yang berbeda dengan diri sendiri. Artinya orang dapat menerima
berbagai perbedaan yang ada.
4. Menghargai agama lain:
Sikap ini hanya dapat timbul pada diri orang yang dewasa imannya, orang
yang dapat menemukan kebaikan di dalam agama lain dan menghargainya, tanpa
merasa terancam oleh kehadiran orang lain.
Menghargai agama lain tidak berarti kita kehilangan iman. Justru
penghargaan terhadap agama lain, membangun kerja sama yang produktif dan
konstruktif bagi kepentingan keadilan dan kemanusiaan itulah makna hidup orang
beriman.
Ada beberapa
model hubungan antar umat beragama:
1. Eksklusivisme
Adalah sikap yang memandang agamanya sendirilah yang paling benar dan
baik. Sementara itu, agama lain adalah agama yang tidak benar.
2. Inklusivisme
Sikap inklusivisme berpandangan bahwa di luar agama yang dipeluknya juga
terdapat kebenaran, meskipun tidak seutuh atau sesempurna agama yang dianutnya.
Di sini masih didapatkan toleransi teologis dan iman.
Sikap inklusif adalah yang memandang bahwa agama-agama lain adalah
bentuk implisit agama kita. Sikap inklusivistik cenderung untuk
menginterpretasikan kembali hal-hal dengan cara sedemikian, sehingga hal-hal
itu tidak saja cocok tetapi juga dapat diterima. Ringkasnya, sikap inklusif
adalah keterbukaan dalam menerima bahwa agama lain memiliki kebenarannya
sendiri.
Sikap ini merupakan sikap yang umumnya diambil oleh orang-orang kristen.
Memang ada keberagaman dalam menyikapi hubungan antar agama, namun umumnya
sikap inklusif lebih dianjurkan oleh para tokoh agama dan nampaknya dapat
disesuaikan dengan teologi Kristen.
3. Pluralisme.
Pluralisme adalah pandangan filosofis yang menerima keberagaman agama.
Pluralisme sebagai: “Suatu situasi di mana bermacam-macam agama berinteraksi
dalam suasana saling menghargai dan dilandasi kesatuan rohani meskipun mereka
berbeda.”
Dengan sikap pluralis, orang berupaya mencari titik temu bagi
agama-agama. Titik temu bagi terciptanya dialog dan kerja sama adalah
kebersamaan setiap pemeluk agama dalam menghadapi serta memecahkan
masalah-masalah kemanusiaan bersama.
Orang yang memiliki wawasan pluralisme tidak berarti mempersamakan semua
agama. Justru mereka tetap teguh memegang imannya seraya mencari bentuk atau
model kerja sama yang dapat mempertemukan semua orang berbeda iman dalam tiitik
yang sama yaitu: upaya-upaya nyata dalam mengatasi masalah-masalah kemanusiaan,
keadilan dan kebenaran secara bersama-sama.
Cerminan
sikap pluralis adalah sebagai berikut.
• Hidup dalam Perbedaan
Sikap menerima orang lain yang berbeda
• Saling Menghargai
Mendudukkan semua manusia dalam relasi kesetaraan, tidak ada yang
lebih tinggi ataupun lebih rendah.
• Sikap saling percaya
Rasa saling percaya adalah salah satu unsur terpenting dalam menjalani
hubungan antar sesama manusia dalam pebedaan agama maupun kultural
atau pun masyarakat.
• Interdependen (sikap saling membutuhkan/saling ketergantungan)
Manusia adalah makhluk sosial (homo socius), antara satu dengan
yang lainnya adalah saling membutuhkan dan saling melengkapi.
Tokoh-tokoh
yang berjuang demi mewujudkan pluarlisme di Indonesia adalah orang-orang
nasionalis yang amat peduli pada keberlangsungan kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Dari kalangan
Muslim Gus Dur (Presiden RI ke-3), Prof. Nurcholis Madjid, Prof.
Komarudin Hidayat, Bhiku Panjero dari kalangan agama Budha. dari kalangan
Kristen Dr. Th. Sumartana, Pdt. Dr. Eka Darmaputera, Pdt. Dr. Marthin
Lukito Sinaga dan masih banyak tokoh lainnya dari kalangan agama Katolik
ada Prof. Dr. Magnis Suseno, Dr. Mudji Sutrisno[A1]
Bagaimana sebaiknya orang-orang yang berbeda keyakinan itu dapat hidup
bersama? Bangsa Indonesia terdiri dari beraneka ragam suku bangsa, budaya, dan
agama. Semua itu merupakan kekayaan yang patut disyukuri. Pada sisi lain,
keberagaman tersebut dapat melahirkan berbagai gesekan yang pada akhirnya
berubah menjadi konflik dan perpecahan.
Sebaliknya, kekayaan itu akan menjadi benih kerukunan apabila bangsa
kita dapat belajar untuk saling menerima dan menghargai. “Rukun” berarti hidup
berdampingan secara damai, saling menolong ketika seseorang atau sebuah
kelompok membutuhkannya dalam kesusahan atau malapetaka. Kerukunan bukanlah
sebuah konsep baru dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Sejak zaman dahulu gotong royong (kerja sama) dan tolongmenolong sudah
dipraktikkan dalam kehidupan masyarakat. Mereka sadar bahwa kerja sama sangat
dibutuhkan untuk menjawab dan memecahkan persoalan-persoalan bersama
kita.
Untuk mengakomodasi berbagai perbedaan suku bangsa, budaya, dan agama,
para pendiri negara Indonesia telah merumuskan semboyan “Bhinneka Tunggal Ika”
yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu.
Rupanya mereka telah membaca adanya bahaya yang akan timbul di kemudian
hari karena adanya kepelbagaian dalam suku bangsa, budaya, dan agama. Namun
demikian kepelbagaian ini pun dapat dijadikan kekayaan yang harus diterima dan
memperkaya budaya dan kehidupan masyarakat Indonesia.
Semboyan Bhinneka Tunggal Ika dipakai untuk merekat berbagai perbedaan
dalam satu pelangi yang indah, suatu kesatuan nasional sebagai “bangsa
Indonesia”.
Di samping itu, dasar negara Republik Indonesia – Pancasila – juga
mengakui kepelbagaian agama di Indonesia melalui sila Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pancasila juga memberi ruang yang luas bagi tercipta serta terpeliharanya hidup
rukun antar masyarakat bangsa yang berbeda agama melalui sila kemanusiaan yang
adil dan beradab, kerakyatan (demokrasi), dan keadilan sosial.
Bagaimana caranya membangun sikap menghargai agama lain dan para
pemeluknya? Kata kuncinya di sini adalah keberanian untuk mendengarkan orang
lain. Dan itu berarti bersikap terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh orang
lain tanpa menjadi defensif.
Untuk itu, kita harus benar-benar mendalami keyakinan agama kita
sendiri. Rasa takut dan sikap yang defensif hanya timbul dari diri orang yang
tidak siap untuk menghadapi pertanyaanpertanyaan yang dapat mengganggu
keyakinan imannya.
Kita tidak akan mampu mempersatukan dogma atau ajaran semua agama namun
kita dapat mempersatukan semua umat beragama melalui berbagai kerja sama dan
upaya untuk menanggulangi masalah-masalah kemanusiaan.
Pendekatan dogmatis hanya akan berakhir pada konflik dan perpecahan
namun melalui upaya kemanusiaan semua orang dari latar belakang agama yang
berbeda akan dipersatukan sebagai komunitas yang peduli pada kemanusiaan,
keadilan dan perdamaian.
Pertanyaan:
1. Bagaimana sebaiknya orang-orang yang berbeda keyakinan itu dapat
hidup bersama?
2. Bagaimana caranya membangun sikap menghargai agama lain dan para pemeluknya?
1.saling bertoleransi dan saling tolong menolong, bergotong goyang, tidak membeda bedakan antar agama
BalasHapus2.tidak mengganggu orang lain saat melaksanakan ibadahnya, saling mengingatkan di dalam melakukan hal positif.
1. Saling tolong menolong, saling mengingatkan, bertoleransi.
BalasHapus2. Tidak menganggap agama sendiri lebih baik, saling mengingatkan akan suatu hal ibadah, menghormati orang yg sedang beribadah.
1. Bagaimana sebaiknya orang-orang yang berbeda keyakinan itu dapat hidup bersama? Jawaban : hidup teloransi tampa membedakan satu sama lain
BalasHapus2. Bagaimana caranya membangun sikap menghargai agama lain dan para pemeluknya? Jawaban : tidak membedakan agama satu sama lain, dan menghargai teman yg berbeda agama
1.bergaul dengan semua orang tanpa membedakan kepercayaan masing-masing; menghargai dan memberikan kesempatan kepada teman yang berbeda agama tanpa ada diskriminasi.
BalasHapus2.tifak mengganggu kegiatan ibadah yang lain.
1.toleransi dan saling tolong menolong
BalasHapus2.tidak membedakan teman kita yang beda agama
1. saling menghargai dan menghormati
BalasHapus- bermain dengan siapa saja tanpa memandang agama
- tolong menolong
2. tidak menggangu teman saat ibadah
- tidak membeda-bedakan agama
- tidak menganggap rendah agama teman
ini lamtama kak 👆🏻
Hapus1.saling bertoleransi, menghargai, dan menghormati agama lain
BalasHapus2.menghormati agama lain yang sedang beribadah, dan tidak memilih milih teman yang beda agama
1.saling bertoleransi dan tolong menolong , tidak membeda bedakan antar agama.
BalasHapus2.tidak mengganggu proses ibadah orang lain dan tidak merendahkan atau mengolok-olok agama orang lain
1.saling tolong menolong, bertoleransi.
BalasHapus2. menghormati ibadahnya , agamanya dan tidak membedakan teman