MENJADI PELAKU KASIH DAN PERDAMAIAN - BAB 11 | PAK KELAS 12 - 2023

 

MENJADI PELAKU KASIH DAN PERDAMAIAN

Yeremia 6:1-21; Matius 5:9; Roma 12:18

Kasih dan perdamaian tidak dapat hadir dengan sendirinya. Kita masingmasing perlu memulainya. Kita perlu mengembangkan kebiasaan hidup yang mewujudkan kasih dan perdamaian. Rangkaian konfl ik, kekerasan, dan kebencian di dunia perlu diputuskan. Membangun jembatan perdamaian dan saling pengertian adalah sebuah langkah konkret untuk mengusahakan terciptanya kasih dan perdamaian di dunia ini.

Kasih dan perdamaian tidak dapat terjadi dengan sendirinya. Semuanya itu membutuhkan usaha dan kerja keras. Kasih dan perdamaian tidak akan tercipta dengan hanya mengucapkan “damai sejahtera! damai sejahtera!”

Abigail Disney (2013), fi lantropis, perempuan pengusaha, aktivis masyarakat, yang membuat fi lm pendek, “Pray the Devil Back to Hell,” pernah menulis demikian: “Perdamaian adalah sebuah proses. Ini bahkan bukanlah sebuah peristiwa, kejadian. Perdamaian adalah sesuatu yang kita buat, yang kita kerjakan. Perdamaian adalah kata kerja. Perdamaian adalah serangkaian pilihan dan keputusan. Ia harus dipertahankan, diperjuangkan... Perdamaian tidak diam-diam. Perdamaian itu bergemuruh!”

Perdamaian dan juga kasih adalah tindakan, bukan kata benda. Artinya, untuk mewujudkan perdamaian dan kasih, kita perlu melakukan langkah-langkah konkret dalam kehidupan kita. Seluruh perbuatan dan gaya hidup kita mestilah mencerminkan perdamaian dan kasih, sehingga keduanya dapat terwujud dalam masyarakat kita, di bumi ini.

Agama-Agama dan Kerinduan Akan Damai

Yudaisme, atau agama Yahudi, misalnya, mempunyai konsep syalom yang berarti damai sejahtera yang didasarkan anugerah Allah kepada manusia dan upaya manusia untuk membangun kehidupan yang baik bersama orang-orang di sekitarnya dan seluruh alam semesta. 

Agama Kristen banyak mengikuti konsep yang terdapat dalam agama Yahudi. Nama “Islam” yang kita kenal sebagai sebuah agama, didasarkan pada kata “Salam”, sebuah kata dari bahasa Arab yang memiliki akar kata yang sama dengan kata “Syalom” dalam bahasa Ibrani. Dengan kata lain, kata “Islam” juga berasal dari harapan yang sama akan kehidupan yang penuh dengan kedamaian. Dalam agama Hindu, para pemeluknya saling mengucapkan salam “shanti, shanti, shanti” yang artinya “damai, damai, damai.” Kehadiran agama-agama dan umatnya tidak secara otomatis menghasilkan kasih dan perdamaian. Manusia perlu berusaha dengan sungguh-sungguh.

Pengalaman hidup manusia menunjukkan betapa sering manusia lebih mudah berperang daripada menciptakan perdamaian. Sebagai contoh, dunia pernah mengalami dua perang yang sangat hebat, yaitu Perang Dunia I dan Perang Dunia II. Setelah dunia diluluh-lantakkan oleh kedua perang tersebut, negara-negara di dunia membentuk Liga Bangsa Bangsa. Tidak lama kemudian, Liga Bangsa-Bangsa berganti nama menjadi Perserikatan Bangsa-Bangsa yang dibentuk pada 26 Juni 1945 dan piagamnya ditandatangani di San Francisco, Amerika Serikat.

Hal ini menunjukkan bahwa setiap orang dan setiap kelompok masyarakat merindukan perdamaian. Mengapa demikian? Karena manusia sadar bahwa perang hanya menghasilkan kehancuran dan malapetaka. Karena itu pulalah bila kita kembali kepada agama, kita akan menemukan bahwa setiap agama mengajarkan bagaimana manusia mestinya hidup damai dengan sesamanya. Bahkan juga dengan seluruh alam ciptaan milik Allah.

Agama dan Perang

Meskipun demikian, tidak dapat disangkal bahwa sejarah setiap agama, khususnya agama-agama besar di dunia seperti Yahudi, Kristen, Islam, Hindu, Buddha, juga berisi lembaran-lembaran kelam. Ketika para pemeluknya terlibat dalam tindak kekerasan dan peperangan yang dilakukan atas nama agama, atas nama Tuhan. Dalam agama Kristen misalnya, pernah terjadi perang salib sampai sembi lan kali antara tahun 1095 sampai 1291 yang berlangsung di Timur Tengah untuk merebut (dan kadang-kadang mempertahankan) Yerusalem. Perang salib ini ditujukan terutama terhadap orang-orang Islam, tetapi kadang-kadang juga terhadap bangsa Slavia yang bukan Kristen pada waktu itu, orang-orang Yahudi, orangorang Kristen Ortodoks Rusia dan Yunani, bangsa Mongol, Katar, orang-orang Hus dan Waldensis (orang-orang Kristen yang menentang Paus dan merupakan cikal bakal orang-orang Protestan), dan berbagai musuh politik Paus.

Antara orang-orang Tamil yang umumnya beragama Hindu dan orang-orang Sinhala yang umumnya beragama Buddha di SriLanka, terjadi pertikaian dan peperangan yang telah menelan ribuan korban. Belakangan ini kita juga sering mendengar atau membaca berita-berita tentang berbagai teror dan kekerasan yang dilakukan atas nama Tuhan dan agama.

Penyerangan atas gedung World Trade Center di New York City pada 11 September 2001 dilakukan atas nama Tuhan. Demikian pula serangan yang dilakukan oleh sebuah gerakan agama baru, Aum Shinrikyo, di lima stasiun kereta api di bawah tanah di Tokyo pada 20 Maret 1995. Anggota kelompok ini berhasil menyebarkan gas sarin yang mematikan. Akibatnya, sebelas orang tewas, dan 5000-an orang luka-luka. Dalam perang Bosnia, tentara Serbia membunuh dan memperkosa ribuan orang Kroasia, Slovenia, dan Bosnia, dengan alasan-alasan keagamaan.

Jadi, di satu pihak agama-agama mengajarkan perdamaian, tetapi di pihak lain, para pemeluk agama sering melakukan tindakan-tindakan kekerasan atas nama agama, atas nama Tuhan. Mengapa demikian? Bukankah itu semua bertentangan dengan ajaran-ajaran damai setiap agama?

Rasa Takut

Peperangan dan konfl ik yang berlangsung dalam sejarah manusia biasanya disebabkan karena keinginan untuk mempertahankan atau merebut sumbersumber yang langka. Perang Teluk I (tahun 1990–1991) dan Perang Teluk II (2003–sekarang) terjadi karena pihak-pihak yang terlibat memperebutkan sumbersumber minyak bumi yang sangat penting bagi kehidupan manusia di muka bumi ini.

Perang dan konflik juga dapat terjadi karena kebanggaan semu akan keunggulan bangsa sendiri. Adolf Hitler menyerang negara-negara lain di Eropa karena keyakinannya bahwa bangsa Arya adalah bangsa yang paling unggul dan diberkati Tuhan di muka bumi ini. Mereka ditakdirkan untuk menjadi pemimpin dunia. Begitu pula pembantaian atas 800.000 warga suku Tutsi oleh suku Hutu selama 100 hari di Rwanda (tahun 1994) terjadi karena suku Hutu yakin bahwa suku Tutsi hanyalah “kecoa” yang layak dihancurkan.

Perang juga terjadi karena rasa takut yang berlebihan, meskipun tidak jelas sejauh mana rasa takut itu dapat dibenarkan. Perang Vietnam (tahun 1959 -1975), aneksasi Timor Timur (1975), terjadi karena rasa takut akan bahaya komunis.

Saat itu muncul “teori domino” yang meramalkan akan jatuhnya negara-negara Asia Tenggara ke tangan kekuatan komunis apabila tidak dihalangi dengan menghancurkan kekuatan komunis di Vietnam, Laos, Kamboja, dan Indonesia. Penghancuran terhadap PKI di Indonesia pada awal pemerintahan Orde Baru juga terjadi karena alasan ini.

Mengupayakan Kondisi Damai Sejahtera

1. Konflik di Indonesia

Berbagai konfl ik pernah dan masih berlangsung di Indonesia hingga saat ini. Kita dapat mencatat konfl ik pada awal pembentukan Republik Indonesia dalam bentuk PRRI, Permesta, Darul Islam, dan lain-lain. Di Aceh dan Papua terjadi konflik karena masyarakat setempat merasa bahwa kekayaan alam mereka dikuras sementara rakyat sendiri tidak mencicipi hasilnya. Di Kalimantan pernah terjadi konflik antara suku Dayak dan Melayu melawan suku Madura yang dianggap terlalu menguasai sumber-sumber ekonomi masyarakat dan tidak menghargai masyarakat setempat. Di Maluku, Halmahera, Poso, terjadi konflik-konflik yang diduga terutama didasarkan oleh perebutan kekuasaan sosial-politik dan ekonomi namun kemudian ditutupi dengan alasan-alasan agama (Trijono, Dewi, & Qodir, 2004; Manuputy & Watimanela, 2004).

Konflik juga pernah terjadi karena masalah rasial, seperti yang pernah dialami oleh etnis Tionghoa di Indonesia. Sepanjang sejarah bangsa ini baru pertama kali penganiayaan, pemerkosaan, dan pembunuhan dialami oleh ratusan perempuan Tionghoa pada Tragedi Mei 1998. Peristiwa tersebut merupakan awal keruntuhan pemerintahan Orde Baru.

Ada pula konflik-konflik yang terjadi karena alasan-alasan agama. Wujudnya berupa perusakan dan penghancuran rumah-rumah ibadah dan berbagai fasilitas yang terkait; penangkapan dan pembunuhan terhadap umat dan tokoh agama lain; halangan dan larangan bagi umat beragama tertentu untuk menjalankan ibadah dan kehidupan keagamaannya.

Kejadian-kejadian seperti yang digambarkan tersebut sering kita temukan di surat kabar maupun media massa lainnya. Sekelompok orang menganggap dirinya, ajarannya, agama yang dipeluknya sebagai yang paling benar dan satusatunya yang memiliki hak hidup, sementara yang lainnya harus ditutup, dilarang, bahkan kalau perlu dihancurkan. Kehadiran orang lain yang berbeda ras, suku, bahasa, kelas sosial, agama, pemikiran, pendapat, dan lain-lain seringkali memangmenimbulkan rasa gelisah, rasa terganggu, bahkan terancam

Konflik Antara Manusia dan Kerusakan Alam

Perebutan sumber-sumber alam yang terbatas telah menyebabkan konflik antarmanusia. Sebaliknya, konfl ik antarmanusia juga telah menyebabkan rusaknya alam semesta.

Di masa Perang Vietnam, AS menjatuhkan apa yang disebut “agen oranye”,  yaitu zat-zat kimia yang dimaksudkan untuk menghancurkan tumbuh-tumbuhan di permukaan tanah sehingga tentara dan gerilyawan Vietkong tidak dapat bersembunyi di hutan-hutan. Agen oranye ternyata tidak hanya mematikan pohonpohon dan semak, tetapi juga mengakibatkan kerusakan pada manusia. Banyak orang yang dilahirkan dengan cacat tubuh dan wajah karena pengaruh “agen oranye” yang masuk lewat ibu yang mengandung mereka.

Ancaman yang paling hebat yang dihadapi umat manusia adalah bom nuklir yang kini semakin luas penyebarannya di seluruh dunia. Bom nuklir yang kekuatannya ribuan kali bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima dan Nagasaki berpotensi menghancurkan manusia, hewan-hewan, tumbuhan, dan seluruh alam kita.

Kini bom nuklir pun ditemukan di negara-negara Amerika Serikat, Rusia, Prancis, Inggris, Tiongkok, India, Korea Utara, Pakistan, dan Israel. Kemungkinan, Iran juga memilikinya walaupun belum diberitakan secara resmi.

Bagi bangsa Indonesia, ancaman lain dari konfl ik yang terjadi dan tidak diselesaikan dengan baik, adil dan tidak memihak adalah kehancuran negara dan bangsa yang pluralistik ini. Keberadaan bangsa kita yang sejak awal pembentukannya disadari harus mengakomodasi semua perbedaan, sangat ditentukan oleh kesediaan kita semua untuk mengakui semboyan bangsa kita, yaitu “Bhinneka Tunggal Ika”. Tanpa kesediaan ini, akan sulit bagi bangsa kita untuk terus melangkah sebagai suatu kesatuan yang utuh.

Dialog Antariman

Sebuah cara yang sangat baik untuk membangun saling pengertian dan saling menerima di antara masyarakat kita yang pluralistik ini adalah dengan ikut terlibat dalam kegiatan-kegiatan dialog antariman. Dalam kegiatan ini melibatkan orang tua maupun muda untuk melakukan pertemuan-pertemuan dialogis maupun kerja sama dengan saudara-saudara mereka yang datang dari latar belakang etnis, suku, kelas sosial, dan keyakinan yang berbeda-beda.

Di Jakarta ada sebuah organisasi yang dinamai “Wadah Komunikasi dan Pelayanan Umat Beragama” yang didirikan dengan tujuan seperti di atas. Dalam situs internetnya, dikatakan bahwa “Wadah Komunikasi dan Pelayanan Umat Beragama (WKPUB) bertujuan untuk membangun persaudaraan yang sejati melalui kerja sama lintas agama dengan berbagai komunitas umat beragama, utamanya di wilayah Jakarta Timur dan sekitarnya. Wadah ini bergerak di tingkat akar rumput dengan berbagai kegiatan yang dapat langsung dirasakan manfaatnya oleh masyarakat.

Peristiwa yang cukup mengharukan adalah ketika umat yang mewakili berbagai agama dan kepercayaan berkumpul dan berdoa untuk calon Presiden Joko Widodo. Isi doa adalah sama, yaitu agar Bapak Joko Widodo diberikan kekuatan dan hikmat untuk memimpin negara dan bangsa Indonesia yang mengalami begitu banyak masalah.

Kegiatan-kegiatan seperti di atas tentu akan sangat membantu setiap kelompok untuk lebih saling mengerti kelompok yang lain, menghilangkan atau setidak-tidaknya mengurangi rasa curiga. Sebaliknya, mendorong semua pihak untuk bekerja sama dalam menciptakan rasa damai dan pelayanan bagi pihakpihak yang sangat membutuhkan.

Dalam Amsal 16:7 dikatakan, “Jikalau Tuhan berkenan kepada jalan seseorang, maka musuh orang itu pun didamaikan-Nya dengan dia.” Ayat ini menjelaskan kepada kita bahwa untuk hidup damai dengan sesama kita, bahkan dengan musuh kita, kita harus hidup dalam jalan yang diperkenan Tuhan. Itu berarti kita didorong, diharapkan, bahkan diwajibkan hidup dalam damai sejahtera Allah dengan sesama kita, bahkan juga dengan orang-orang yang membenci kita.

Surat Roma 12:18 mengingatkan kita: “Sedapat-dapatnya, kalau hal itu bergantung padamu, hiduplah dalam perdamaian dengan semua orang!” Surat ini ditulis Rasul Paulus kepada jemaat Kristen di kota Roma. Mereka hidup sebagai kelompok minoritas di tengah-tengah mayoritas yang tidak mengenal Kristus dan bahkan memusuhinya. Kepada jemaat ini, Rasul Paulus menasihati agar mereka berusaha sedapat mungkin untuk hidup dalam perdamaian dengan orang lain.

Mereka tidak perlu takut dan khawatir akan status mereka sebagai kelompok minoritas, melainkan berusaha secara aktif membangun jembatan penghubung antara mereka dengan orang lain, sehingga terciptalah saling pengertian dan keharmonisan di dalam masyarakat.

Roma 12:20 lebih jauh berkata demikian: “Tetapi, jika seterumu lapar, berilah dia makan; jika ia haus, berilah dia minum! Dengan berbuat demikian kamu

menumpukkan bara api di atas kepalanya.” Berdasarkan ayat ini kita belajar bahwa usaha menghadirkan damai sejahtera harus dimulai dari diri kita sendiri. Dengan mengusahakan perdamaian, dengan memberikan makan dan minum bagi mereka yang membutuhkan, bahkan bagi orang-orang yang membenci kita sekalipun, kita akan mampu menghadirkan kehidupan bersama yang damai. 

Pertanyaan:

1. Bacalah Yeremia 6: 1–21Matius 5:9; Roma 12:18 dengan saksama. Catatlah sedikitnya dua hal yang berkesan dari bacaan ini.

Komentar

  1. Yehuda Suprato
    XII MIPA 1
    1. Dua hal yang menurut saya paling berkesan adalah yang pertama kita harus hidup dalam damai dengan semuanya dan berbahagialah orang yang membawa damai karena mereka akan disebut anak-anak allah yang dikatakan di Matius 5:9, yang kedua adalah kita harus takut akan Tuhan Yesus karena dia adalah Bapa kita yang di sorga dan tempuhlah jalan yang baik dengan demikian jiwamu mendapat ketenangan.
    God Bless All

    BalasHapus

Posting Komentar