MEMBANGUN PERDAMAIAN, MERAJUT TOLERANSI - BAB 10 | PAK KELAS 9 - 2023

 

MEMBANGUN PERDAMAIAN, MERAJUT TOLERANSI

Mazmur 133:1-3; Kisah Para Rasul 10:1-48

Agama-agama mengajarkan agar manusia mewujudkan cinta kasih dari Tuhan kepada sesama. Cinta kasih itulah yang mestinya direflesikan dalam hubungan damai dengan sesama, bahkan dengan semua ciptaan Tuhan.

Perdamaian antarumat beragama penting diwujudkan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk. Bagi umat Kristen, perdamaian merupakan panggilan iman yang harus diusahakan dan dikembangkan dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian sesama yang berbeda agama bukanlah saingan atau ancaman apalagi musuh, melainkan sebagai saudara-saudara sesama ciptaan Tuhan yang oleh Tuhan sendiri ditempatkan untuk hidup bersama dalam toleransi dan bekerja sama untuk perdamaian.

Remaja sebagai bagian dalam masyarakat harus turut berperan serta menciptakan perdamaian antaragama pada saat yang sama merajut sikap toleransi. Hal ini perlu secara konkret dilakukan, misalnya dalam pergaulan remaja yang tidak membeda-bedakan suku, agama, ras, golongan. Remaja harus meneladani sikap Tuhan Yesus sebagai pilihan utama dalam usaha mewujudkan perdamaian dan toleransi, sehingga remaja dapat menghadirkan tanda-tanda kerajaan sorga di dalam dunia.

Agama adalah Anugerah Tuhan

Agama pada dasarnya adalah respons manusia terhadap anugerah Tuhan. Iman Kristen mengajarkan bahwa Allah telah bekerja di dalam hidup kita dengan mengaruniakan keselamatan dan damai sejahtera melalui karya Yesus Kristus. Karena itulah, kita pun terpanggil untuk menghadirkan kesejahteraan bagi sesama kita. Baik atau buruk pengaruh agama dalam masyarakat tergantung dari bagaimana cara manusia menanggapi anugerah Tuhan tersebut. Oleh karena itu, sebagai bentuk ucapan syukur atas anugerah Allah maka manusia harus melaksanakan ajaran agama yang menghadirkan cintakasih Tuhan dalam relasi dengan Tuhan dan sesama.

Kata “agama” berasal dari bahasa Sansekerta, yang berasal dari akar kata a yang berarti “tidak” dan gama yang berarti “bercampur” atau “kacau”. Jadi,  agama artinya tidak kacau atau teratur. Maksudnya, agama adalah peraturan yang dapat membebaskan manusia dari kekacauan yang dihadapi dalam hidupnya. Kata “agama” dalam bahasa Inggris yaitu religion, berasal dari bahasa Latin religare yang berarti “mengikat kembali”. Maksudnya, setiap orang yang bereligi atau beragama adalah orang yang senantiasa merasa terikat dengan sesuatu yang dianggap suci, dan karena itu seyogyanya senantiasa bersikap hati-hati dengan sesuatu yang dianggap suci.

Dalam mewujudkan perdamaian antarumat beragama, pluralisme atau kemajemukan harus dipahami sebagai semangat untuk menghargai keyakinan agama sendiri dan sejalan dengan itu menghormati keyakinan agama lain.

Penganut agama lain tidak dilihat sebagai musuh, lawan atau saingan. Sebaliknya, mereka adalah teman sekerja, saudara, sesama yang memiliki tujuan yang sama, yakni kesejahteraan manusia dan alam ciptaan Allah.

Meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat dan memelihara eksistensi suatu masyarakat yang damai, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahk kan menghancurkan perdamaian suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan  bahkan menyalahkan keberadaan pemeluk agama lain.

Terdapat dua konflik yang bersumber pada agama yaitu:

a. Perbedaan doktrin dan sikap mental yang memandang bahwa hanya agama yang dianutnyalah yang memiliki kebenaran (claim of truth) sedangkan yang lain sesat, atau setidaknya kurang sempurna. Klaim kebenaran inilah yang menjadi sumber munculnya konflik yang berlatar belakang agama

b. Masalah mayoritas dan minoritas kelompok agama. Dalam suatu masyarakat yang majemuk atau plural, seringkali menjadi faktor penyebab munculnya konflik sosial. Mayoritas  sering menindas atau menekan minoritas dalam hal menjalankan ibadah masing-masing.

Bagi umat Kristen, perdamaian adalah panggilan iman. Perdamaian yang dikehendaki adalah:

a. Perdamaian yang otentik dan dinamis. Artinya, perdamaian yang kita usahakan dan kembangkan bukanlah sekadar “asal damai”, melainkan damai yang benar-benar keluar dari hati yang tulus dan murni.

b. Ada kaitan antara perdamaian dan kebebasan. Artinya, perdamaian harus terpancar dalam kebebasan, bukan perdamaian yang dipaksakan dan justru melumpuhkan dan mematikan kebebasan.

Perpaduan antara kedua hal ini disebut tanggung jawab. Kebebasan beragama tidak dapat dijadikan alasan untuk melakukan apa saja, melainkan harus dilakukan dengan bertanggung jawab. Salah satu tujuan tanggung jawab itu adalah menjaga dan memelihara kesejahteraan hidup bersama sebagai tugas dan tanggung jawab semua umat beragama.

Agama pada dasarnya bertujuan untuk menghadirkan damai dan sejahtera bagi hidup manusia. Dalam kekristenan kita beriman kepada Allah karena karya pendamaian-Nya melalui Yesus Kristus, yang seharusnya mendorong kita untuk terus-menerus membangun perdamaian dengan sesama kita. Orang Kristen harus sadar bahwa ketika hubungan damai dengan Allah (secara vertikal) dibangun, maka pada saat yang sama seharusnya hubungan damai dengan sesama (secara horisontal) juga dikembangkan.

Perdamaian dalam Perspektif Alkitab dan Teologis

Alkitab memberi kesaksian bahwa sejak awal penciptaan dunia, Tuhan telah mempunyai rencana yang indah bagi ciptaan-Nya. Taman Firdaus merupakan taman yang asri dan damai bagi manusia pertama, Adam dan Hawa. Mereka berdua dipanggil untuk saling mengasihi antarsesama dan mengasihi Tuhan sebagai Sang Pencipta. Manusia dipanggil untuk bertanggung jawab terhadap keutuhan ciptaan Tuhan, agar dapat hidup penuh damai dan sejahtera.

Terutama kitab Kejadian 1:26-28 mendeskripsikan bahwa manusia diciptakan menurut citra Tuhan supaya mereka berkuasa atas flora dan fauna baahkan seluruh  ciptaan Allah. Artinya, manusia diberikan tugas oleh Tuhan untuk memelihara dan bertanggung jawab atas seluruh ciptaan-Nya. Citra manusia yang serupa dengan Allah tersebut perlu dihargai dan dihormati oleh manusia. Mereka memiliki relasi yang damai, baik dengan Tuhan sang Khalik maupun dengan sesamanya, bahkan dengan keseluruhan alam ciptaan Tuhan.

Dalam teks-teks Alkitab pembahasan tentang perdamaian ditunjukkan oleh dua kata yang sering muncul dalam kaitannya dengan pemahaman mengenai damai yaitu syalom (dalam Perjanjian Lama), eirene dan soteria atau keselamatan (dalam Perjanjian Baru). Ayat-ayat Alkitab menjelaskan bahwa kata damai dipakai dalam kehidupan sehari-hari, terutama dalam hubungan antarmanusia. Damai dipakai sebagai salam saat bertemu dan berpisah. Sebagai salam pertemuan atau perjumpaan, yang memberi salam mengharapkan lawan bicara dalam keadaan sehat, bahagia, senang, dan sentosa. Sementara itu, sebagai salam perpisahan, yang memberi salam damai mengharapkan masing-masing di antara mereka tetap dalam keadaan selamat setelah perjumpaan terjadi.

Mengingat kata damai tersebut memuat harapan untuk keselamatan, maka kata tersebut juga menjadi semacam berkat yang diucapkan secara khusus di dalam suatu perpisahan. Dalam hal ini, kata damai secara langsung maupun tidak langsung dikaitkan dengan dimensi religius, karena kehadiran berkat tersebut diimani hanya dapat terjadi karena pekerjaan Tuhan. Damai sebagai salam atau salam berkat, khususnya dalam Perjanjian Lama, hanya terjadi dalam situasi ketika orang taat kepada Tuhan.

Di dalam Alkitab kata damai juga memiliki konsep keutuhan, kesentosaan, dan kesejahteraan, baik berkaitan dengan aspek personal maupun sosial. 

Pertama damai dalam prespektif pribadi yaitu mencakup aspek fisik maupun batin atau dimensi keutuhan pribadi maupun martabat manusia. Damai secara fisik diartikan apabila orang tidak berkekurangan, cukup makanan ada tempat tinggal, dan tidak mengalami kesulitan untuk hal-hal yang berkaitan dengan kebutuhan tubuh. Karena itu, orang-orang yang tidak mampu memenuhi kebutuhan dasar kehidupan, adalah manusia yang tidak mengalami damai.

Kedua, damai berkaitan dengan lingkup sosial. Di sini damai berarti adanya keutuhan sosial, kesejahteraan sosial ketika masyarakat hidup dalam suasana yang aman dan damai. Dengan demikian damai berkaitan dengan relasi antarmanusia. Di sini juga penting kita menghubungkan makna damai dengan keutuhan dalam masyarakat dengan ide relasi antara penguasa dan warga masyarakat, atau antara pemimpin dan rakyat atau yang dicirikan dengan relasi harmonis. 

Tuhan Yesus menggunakan kata damai (eirene) sebagai salam perjumpaan dan salam perpisahan. Secara khusus, Tuhan Yesus mengajarkan bahwa nilai tertinggi dari damai berkaitan erat dengan ajaran sentral Tuhan Yesus tentang “Kerajaan Allah”. Secara sederhana dapat digambarkan bahwa Kerajaan Allah adalah suatu keadaan di mana Tuhan “hadir sebagai Raja”. Jadi sangat berbeda dengan konsep kerajaan yang kita kenal yang lebih bersifat teritorial dan berkaitan erat dengan kekuasaan.

Dalam konsep Kerajaan Allah, kekuasaan Allah melingkupi semua aspek kehidupan manusia baik dalam hubungan antarmanusia, maupun hubungan dengan Tuhan bahkan dengan alam semesta. Sebagaimana dinubuatkan oleh para nabi, di dalam Kerajaan Allah akan ada kebenaran, kebebasan, kasih, rekonsiliasi, dan kedamaian yang abadi. Aspek-aspek tersebut menjadi nilainilai yang perlu dikembangkan dalam kehidupan kristiani. Kekuasaan Allah sebagai raja tersebut merupakan situasi yang semestinya ada. Tanpa damai, Kerajaan Allah tidak dapat dihadirkan, karena damai merupakan tanda hadirnya Kerajaan Allah.

Dalam Injil sinoptik (Matius, Markus, dan Lukas) dapat dilihat bahwa Tuhan Yesus sering berbicara mengenai Kerajaan Allah. Meskipun demikian, dia juga sering mengganti Kerajaan Allah dengan istilah “Kerajaan Surga” (sampai 30 kali). Secara khusus Matius menyebut kata damai dalam khotbah Tuhan Yesus di atas bukit: “Berbahagialah orang-orang yang membawa damai” (Mat. 5:9). Dalam Khotbah di Bukit, kata damai berkaitan dengan solidaritas bersama kaum miskin, tindakan etis berlandaskan kasih Allah, dan pemahaman akan Allah yang sangat baik dan berbelas kasih. Dalam kisahkisah Injil, kita menemukan bahwa Tuhan Yesus sendirilah yang menjadi pembawa damai, yang memperdamaikan relasi manusia yang rusak dengan Allah dan relasi manusia dengan sesamanya.

Dapat pula kita telusuri bahwa para pengikut Kristus pada perkembangan gereja awal memaknai kata damai dengan menghubungkannya pada Tuhan Yesus sendiri. Salah satu tokoh penyebar kekristenan di Asia Kecil yang terkenal adalah Rasul Paulus, yang tulisan-tulisannya selalu menghubungkan hampir semua topik bahasan dengan pribadi Yesus yang adalah Kristus, termasuk pembahasannya tentang damai. Dalam suratnya untuk Jemaat Roma, dia mengungkapkan bahwa orang-orang yang mengalami damai adalah mereka yang hidup di dalam Kristus (mis. Rm. 2:10; 3:17, 25; 5:1).

Perdamaian Antar Umat Beragama

Kita harus mengakui bahwa bangsa Indonesia adalah bangsa yang memiliki kemajemukan agama. Karena itu pengajaran agama seharusnya disampaikan dengan wawasan perdamaian. Di sinilah wawasan pluralism dapat menolong dan mengarahkan kepada hadirnya perdamaian antaragama. Pluralisme harus dipahami sebagai semangat dalam menghargai keyakinan agama sendiri dan sejalan dengan itu menghormati keyakinan agama lain. Penganut agama lain tidak dilihat sebagai musuh, lawan atau saingan. Sebaliknya, mereka adalah teman sekerja, saudara, sesama yang memiliki tujuan yang sama, yakni kesejahteraan manusia dan alam ciptaan Allah.

Kita harus mengakui bahwa sejarah masa lalu kita penuh dengan konflik antaragama menunjukkan kepada kita adanya pengingkaran atas nilai-nilai agama terutama nilai kasih, persaudaraan, persatuan antarmanusia. Karena itulah, seharusnya pembelajaran agama yang kita lakukan memberikan pendasaran dan kekuatan rohani agar tercipta adanya integrasi maupun ikatan sosial. Spiritualitas kristiani seharusnya memberikan pencerahan bagi tercapainya perdamaian antaragama. 

Dengan demikian pembelajaran mengenai agama baik yang kita pelajari sendiri maupun yang kita terima dari guru di sekolah dan di gereja dapat kita gunakan untuk membuat referensi bagi perdamaian antargama, secara khusus disini. konflik  antaragama.

Meskipun demikian meredam atau menghentikan konflik saja belumlah cukup. Masih ada satu langkah lagi yang penting, yaitu harus terjadi tahap rekonsiliasi yakni tahap perdamaian antaragama. Sebab kalau terjadi saling balas membalas, pasti masalah tidak akan selesai, bahkan akan menjadi lebih parah. Namun, jika kita melakukan rekonsiliasi maka perdamaian akan dapat diwujudkan. Ajaran penting di dalam kekristenan, sebagaimana yang dicontohkan oleh Tuhan Yesus, mengampuni pihak lain.

Pada waktu kita mengampuni orang lain, sesungguhnya kita juga memberikan “hadiah” kepada diri kita sendiri, karena kita telah terbebas dari rasa dendam, permusuhan dan pasti merasa lebih damai. Di samping itu tentu saja orang yang diberi pengampunan juga akan merasakan adanya suasana yang damai. Mengampuni atau memaafkan orang lain bukanlah hanya sekadar bersabar serta menahan diri karena tidak mempunyai kekuatan untuk membalas apa yang dilakukan orang lain. Lebih dari itu, saat kita pun memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk membalas dendam kita juga tidak melakukannya.

Inilah panggilan rekonsiliasi yang didasarkan kepada panggilan luhur, yang seharusnya diajarkan oleh semua agama. Dengan landasan kesetaraan dan kesederajatan, serta usaha untuk saling percaya dan memahami pihak lain, maka akan terjalin suatu hubungan dan keterbukaan, untuk menemukan cara dan jalan terbaik agar konflik antaragama dapat diatasi sehingga pada  gilirannya dapat menciptakan suatu kehidupan bersama yang penuh damai.

Dialog untuk Perdamaian

Sebagai warga gereja, kita banyak terlibat dialog dengan orang lain yang berbeda suku, agama, ras, dan antargolongan, karena dalam hidup seharihari kita bertemu dan bergaul dengan mereka. Dialog pun bermanfaat untuk mewujudkan perdamaian. Bahkan dialog adalah salah satu sarana yang paling baik untuk membangun perdamaian.

Dalam melakukan dialog, ada empat hal yang harus diperhatikan:

Pertama, kita memerlukan pendalaman tentang isi kepercayaan/agama kita sendiri. Kita perlu menghayati dengan mendalam pemahaman kita tentang pokok-pokok iman Kristen kita, tradisi gereja kita dan lain-lain yang berkaitan dengan kekristenan atau agama kita sendiri.

Kedua, kita memerlukan pemahaman tentang agama orang lain dan kehidupan mereka di dalam menjalankan keyakinannya.

Ketiga, kita harus bersikap saling menghormati tanpa memandang latar belakang, dan tak peduli dengan jumlah umat kita atau jumlah umat agama lain. Bila jumlah kita lebih besar, kita tidak boleh menyombongkan diri karena jumlah itu. Bila jumlah kita lebih kecil, kita tidak perlu merasa rendah diri karenanya. 

Keempat, dialog tidak berarti merelatifkan kebenaran Injil atau membawa kita kepada sinkretisme.

Dialog bayak diselenggarakan di tingkat-tingkat yang lebih luas seperti nasional dan internasional, karena orang semakin memahami pentingnya dialog untuk mencapai perdamaian.

1. Supaya membangun kesejahteraan tidak dapat terlaksana dengan mengabaikan keberadaan orang lain. Masalah-masalah kehidupan di sekitar kita yang semakin kompleks adalah masalah bersama. 

Kepercayaan kita kepada Allah, pertama-tama harus membuat kita mengakui dengan rendah hati bahwa pluralitas masyarakat adalah karunia Tuhan untuk dikembangkan dengan maksimal melalui dialog. Dialog akan membuka perspektif baru dalam menjalankan komitmen keagamaan.

2. Adalah tepat untuk mengupayakannya di kalangan pemuda. Sebab pemuda memiliki potensi besar untuk membangun masa depan bersama yang lebih dinamis, terbuka dan penuh kemungkinan.

3. Kalau agama-agama ingin tetap berperan di dalam memberi arah terhadap pembangunan bangsa, maka dialog adalah cara yang tepat untuk menggalang potensi. Tanpa dialog, kehidupan akan semakin terpecah-pecah dan pada gilirannya akan membuat agama diabaikan oleh masyarakat.

4. Dialog bukan saja sarana untuk makin saling mengenal, melainkan membuat kita makin mengenal jati diri kita sendiri. Kekhawatiran bahwa dialog akan menyinggung perasaan orang lain membuat kita enggan untuk berdialog. Kekhawatiran lain secara tidak disadari ialah kita takut seandainya yang kita percayai itu tidak benar, kita khawatir jangan-jangan kepercayaan kita menjadi goyah.

Halangan terbesar dari upaya dialog untuk mengembangkan toleransi ini adalah anggapan bahwa agama lain pasti tidak sesuai atau cocok dengan agama saya. Memang semua agama tidak sama. Setiap agama muncul dan bertumbuh dalam situasi dan latar sejarahnya yang unik, sehingga isi ajarannya pun menjadi unik.

Sungguh keliru bila kita mengatakan bahwa semua agama sama saja. Bahkan setiap aliran dalam sebuah agama tertentu pun berbeda-beda dengan aliran yang lainnya. Itulah sebabnya ada Kekristenan yang Protestan, tetapi juga Katolik, Pentakosta, Baptis, Adentis, dan lain-lain. Di dalam Islam pun demikian, ada Sunni, Syiah, Ahmadiyah, Tarekat, dan lain-lain.

Perbedaan-perbedaan ini juga tidak terlepas dari tafsiran orang terhadap ayat-ayat kitab suci dan penghayatan orang akan iman mereka. Perbedaan tafsir tidak mungkin diseragamkan, karena setiap orang memandang teks kitab sucinya dengan latar belakang budaya, pendidikan, politik, ekonomi dan strata sosial yang berbeda-beda. Masalah perbedaan penafsiran agama tersebut, dapat menjadi masalah ketika ada pihak-pihak tertentu yang menganggap bahwa pendapatnya, dan penafsirannyalah yang paling benar, sementara yang lain salah.

Karena itu kita harus memulai dialog kita dengan pemahaman bahwa ada banyak perbedaan di antara agama-agama, tetapi ada juga hal-hal yang sama, yang dapat menjadi titik temu dalam kepelbagaian yang ada. Dalam setiap agama, bahkan setiap aliran agama, ada hal-hal yang khas, yang partikular.

Tetapi, sekaligus ada juga hal-hal yang umum, atau hal-hal yang disebut sebagai hal yang universal. Perbedaan-perbedaan yang ada itu justru akan menjadi positif bila kita memahaminya sebagai sebuah kekayaan, seperti warna-warni yang indah pada sebuah pelangi.

Toleransi beragama tidak bertujuan untuk menghilangkan nilai-nilai kekhasan agama, karena hal itu tidak mungkin terjadi. Penghilangan perbedaan, pemaksaan keseragaman di antara pemeluk agama justru merupakan tindakan sewenang-wenang dan melanggar hak asasi manusia. Untuk menghadapi perbedaan-perbgedaan tersebut, yang perlu ditekankan adalah nilai-nilai yang bersifat universal, misalnya nilai keadilan, kemanusiaan, kesetaraan, kebaikan, kejujuran, kasih kepada sesama.

Merawat Perdamaian Merajut Toleransi

Pada hakikatnya perdamaian antaragama perlu dikembangkan dan dirawat.  Perdamaian secara konkret dapat dirasakan bila ada suasana persaudaraan dan kebersamaan antarsemua orang walaupun mereka berbeda secara suku, ras, golongan, dan agama. Perdamaian juga dapat dimaknai sebagai suatu proses untuk menjadi damai karena sebelumnya ada ketidakdamian, konflik atau perselisihan. Namun selanjutnya, timbul kesadaran serta kemampuan dan kemauan untuk hidup bertoleransi karena dalam realitas kita harus hidup secara berdampingan dengan agama lain, hidup bersama dengan agama lain dalam suasana damai serta tenteram. Hal ini sebenarnya berhubungan dengan sila pertama dalam Pancasila yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Toleransi juga dapat dikatakan sebagai suatu istilah dalam konteks sosial budaya dan agama yang berarti sikap dan perbuatan yang melarang adanya diskriminasi terhadap kelompok-kelompok yang berbeda atau tidak dapat diterima oleh mayoritas dalam suatu masyarakat.

Perdamaian bukanlah suatu hal yang secara otomatis selalu ada di sekitar kita, oleh karena itu kehadirannya perlu dirawat dengan terus-menerus mengembangkan toleransi, antara lain dengan sungguh-sungguh mau melakukan dialog. Perdamaian dan toleransi antarumat beragama bagaikan dua sisi mata uang yang tak dapat dipisahkan satu sama lain. Penerapan sikap perdamaian berdampak pada toleransi atau sebaliknya toleransi menghasilkan perdamaian, keduanya menyangkut hubungan antarsesama manusia.

Perdamaian umat beragama berarti antara pemeluk-pemeluk agama yang berbeda bersedia secara sadar hidup rukun dan damai. Suatu perdamaian yang dilandasi oleh toleransi, karena ada saling pengertian, menghormati, menghargai dalam kesetaraan, dan bekerja sama dalam kehidupan sosial di masyarakat. Hidup rukun artinya hidup bersama dalam masyarakat secara damai, saling menghormati dan bergotong royong atau bekerja sama. Jika perdamaian diaplikasikan pada kehidupan sehari-hari, maka akan muncul toleransi antarumat beragama. Atau, jika toleransi antarumat beragama dapat terjalin dengan baik dan benar, maka akan menghasilkan suatu masyarakat damai.

Toleransi sejati didasarkan pada sikap hormat terhadap martabat manusia, hati nurani dan keyakinan serta keikhlasan sesama apapun agamanya. Toleransi antarumat beragama harus tercermin pada tindakan-tindakan atau perbuatan yang menunjukkan umat saling menghargai, menghormati, menolong, dan mengasihi. Termasuk di dalamnya menghormati agama dan iman orang lain, menghormati ibadah yang dijalankan oleh orang lain, tidak merusak tempat ibadah, tidak menghina ajaran agama orang lain, serta memberi kesempatan kepada pemeluk agama menjalankan ibadahnya. Dengan adanya komitmen untuk melakukan hal-hal tersebut dengan sungguh-sungguh, maka agamaagama akan mampu untuk melayani dan menjalankan misi keagamaan dengan baik sehingga terciptalah suasana damai yang toleran dalam kehidupan masyarakat serta bangsa.

Sebagaimana yang telah diungkapkan dalam pembelajaran sebelumnya, kemajemukan bangsa Indonesia merupakan keunikan serta kekayaan yang harus disyukuri. Hidup dalam masyarakat yang pluralis dengan sendirinya menuntut tingkat toleransi serta solidaritas yang tinggi agar perdamaian dapat diwujudkan. Untuk merealisasikan perdamaian tersebut, terdapat empat hal yang harus diperhatikan terutama untuk para remaja dan pemuda dalam perjalanan ke depan bersama-sama, yaitu;

1. Tanggung jawab yang besar. Setiap umat beragama harus memiliki tanggung jawab moral dalam dirinya untuk menjadikan perdamaian sebagai urusan dan perjuangan pribadi. Setiap orang beriman, termasuk remaja dan pemuda, harus menjadi pribadi yang “cinta damai”. Jika tidak, maka perubahan yang berarti tidak akan terjadi.

2. Perdamaian harus dirawat dan dikembangkan terus-menerus. Harus diupayakan langkah demi langkah dengan kesepakatan-kesepakatan yang semakin maju melalui pengalaman perjalanan bersama.

3. Tugas mewujudkan perdamaian antarumat beragama adalah tugas bersama semua agama.

4. Kita harus menerobos dan merubuhkan tembok prasangka, seperti yang sudah diteladankan Tuhan Yesus dalam sikapnya terhadap kelompok agama atau etnis lain (ingat: kisah perjumpaan perempuan Samaria dengan Tuhan Yesus).

Salah satu tantangan terhadap pengembangan perdamaian adalah adanya peristiwa-peristiwa lokal yang mengarah pada peningkatan benturan dan  konflik SARA (suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Hal ini harus menjadi perhatian kita semua, bersama pemerintah dan lembaga keagamaan dalam upaya meningkatkan hubungan yang baik antara suku, agama, ras atau golongan 

Pertanyaan:

1. Apa arti “syalom” yang digunakan di dalam Alkitab? Menurut kamu, apa artinya kalau kita mengucapkan “syalom” kepada orang lain?

2. Kadang-kadang kita mendengar seseorang mengucapkan “Syalom, teman-teman!” sambil berteriak-teriak, karena merasa ucapannya kurang terdengar oleh orang lain. Menurut kamu, apakah ucapan itu menghadirkan “syalom” bagi mereka yang mendengarnya?

3. Di atas dikatakan, “Artinya, perdamaian yang kita usahakan dan kembangkan bukanlah sekadar “asal damai”, melainkan damai yang benar-benar keluar dari hati yang tulus dan murni.” Menurut kamu, apakah arti pernyataan ini? Berikan contohnya dalam hidup sehari-hari!


Sumber: @© 2015 pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Pendidikan Agama dan Budi Pekerti

Komentar

  1. 1. Shalom (Dib) merupakan kata berasal dari bahasa Ibrani yang artinya sejahtera. Tidak ada yang hilang, Tidak ada perpecahan, kesehatan, dan kelengkapan, dan digunakan sebagai pengganti kata halo dan selamat tinggal.
    2. iya, karena syalom adalaha kata berasal dari bahasa Ibrani yang artinya sejahtera, Tidak kehilang, Tidak ada pertengkaran, kesehatan, dan kelengkapan, dan digunakan sebagai pengganti kata halo dan
    selamat tinggal.
    3. Bahwa sebenarnya arti kata perdamaian itu tumbuh dan keluar dari hati yang tulus dan murni serta bersih

    BalasHapus
  2. 1. Shalom (Dib) merupakan kata berasal dari bahasa Ibrani yang artinya sejahtera. Tidak ada yang hilang, Tidak ada perpecahan, kesehatan, dan kelengkapan, dan digunakan sebagai pengganti kata halo dan selamat tinggal.
    2. iya, karena syalom adalaha kata berasal dari bahasa Ibrani yang artinya sejahtera, Tidak kehilang, Tidak ada pertengkaran, kesehatan, dan kelengkapan, dan digunakan sebagai pengganti kata halo dan
    selamat tinggal.
    3. Bahwa sebenarnya arti kata perdamaian itu tumbuh dan keluar dari hati yang tulus dan murni serta bersih
    (Pramita rosa lina)

    BalasHapus
  3. 1. syalom merupakan kata berasal dari bahasa Ibrani yang artinya sejahtera
    2.iya
    3. maksudnya damai yang benar-benar keluar dari hati yang tulus dan murni adalah jadi kita benar benar dari hati dan tulus bukan karena paksaan dari orang lain untuk berdamai.

    BalasHapus

Posting Komentar