HIDUP BERSAMA DENGAN ORANG YANG BERBEDA IMAN - BAB 7 | PAK DAN BUDI PEKERTI - KELAS 12

. 


Baca dan Renungkan: Mazmur 133

Keberagaman agama merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak. Keberagaman agama jangan dijadikan alasan untuk menjauhkan seseorang dari pergaulan sosial maupun dalam memperoleh pemenuhan hak-haknya sebagai manusia dan warga Negara Indonesia. 

Semboyan Bhinneka Tunggal Ika yang telah dicanangkan oleh para pendiri bangsa dan Negara Indonesia hendaknya dijadikan acuan dalam membangun solidaritas dan kebersamaan dengan mereka yang berbeda iman. Hukum kasih yang diajarkan oleh Tuhan Yesus merupakan acuan utama bagi remaja Kristen untuk membuka diri terhadap mereka yang berbeda.

Pandangan Mengenai Hubungan Antarpemeluk Agama

Hubungan dengan sesama kita yang berbeda keyakinan memang tidak mudah, sebab setiap agama cenderung mengajarkan bahwa agama itulah yang terbaik dan paling benar, sementara semua agama lainnya salah atau keliru. Akibatnya, para pengikut agama yang “saya” peluk itulah yang akan masuk ke surga, sementara para pengikut agama “yang lain” pasti akan ditolak masuk ke surga dan akibatnya mereka akan masuk ke neraka. Hampir semua agama mengajarkan dan mengklaim bahwa hanya agamanya yang benar. 

Dalam agama Kristen, dalam Injil Yohanes 14:6 Yesus berkata, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” Dalam Kisah Para Rasul 4:12, Petrus menyatakan, “Dan keselamatan tidak ada di dalam siapa pun juga selain di dalam Dia, sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan.”

Klaim-klaim kebenaran yang mutlak ini telah membuat orang sulit menjalin hubungan yang baik dan akrab dengan sesamanya yang berbeda keyakinan. Dapat saja dua orang sahabat yang berbeda keyakinannya katakanlah yang seorang beragama Islam dan yang lainnya beragama Kristen hubungannya dapat sangat baik dan akrab. Namun begitu menyentuh masalah-masalah yang berhubungan dengan agama maka yang muncul adalah saling menganggap diri yang paling hebat, benar, dan selamat. Lalu hubungan keduanya pun menjadi renggang. Pada tingkat hubungan yang semakin meruncing dan menajam, orang dapat saja saling melukai bahkan membunuh, seperti yang digambarkan dalam cuplikan-cuplikan berita di atas. Hal yang sama ini pulalah yang telah memicu berbagai konflik di negara kita.

Beberapa Sikap dengan Hubungan Antaragama

Konflik-konflik dan bentuk-bentuk kekerasan yang digambarkan tersebut semuanya dilakukan atas nama agama. Orang yang beragama lain dianggap sebagai lawan. Karena mereka berbeda, maka mereka tidak memiliki hak untuk hidup. Konflik di India yang disebutkan di atas terjadi dengan latar belakang yang panjang. Di tahun 1528, Jend. Mir Baqi dari ketentaraan Kaisar Babur, membongkar sebuah kuil Hindu di Ayodhya dari abad ke-11, yang diyakini orang orang Hindu sebagai tempat kelahiran Dewa Rama. Baqi lalu mendirikan Masjid Babri di lokasi itu. Pada 6 Desember 1992, massa yang terdiri dari ribuan orang Hindu menghancurkan Masjid Babri. Dalam waktu 9 jam, masjid yang berumur 464 tahun itu pun rata dengan tanah. Kerusuhan pun menyebar di seluruh India, Pakistan, dan Bangladesh.

Di Bosnia, pembantaian terhadap etnis Bosnia-Herzegovina dilakukan oleh orang-orang Serbia dengan alasan balas dendam atas apa yang dilakukan orang-orang Turki, nenek moyang orang etnis Bosnia-Herzegovina, pada tahun 1300-an. Sudah tentu ini sebuah klaim yang sangat tidak masuk akal.

Bagaimana mungkin sebuah dendam yang terjadi 600 atau 700 tahun yang lalu dibalaskan kepada cucu-buyut si pelakunya sekarang? Berdasarkan hal tersebut jelas terlihat bahwa motif-motif agama digunakan untuk membakar emosi orang dan membangkitkan kebencian terhadap kelompok-kelompok yang berbeda. Konflik-konflik yang terjadi di Halmahera, Ambon, Rengasdengklok, Poso, dan lain-lain, seolah-olah bermotifkan agama, namun penyebabnya diduga keras sama sekali tidak ada kaitannya dengan agama. Sebab-sebab yang ada di balik semuanya itu seringkali bersifat politis karena melibatkan kepentingan elit-elit politik tertentu. Namun, agama dimanfaatkan untuk menghancurkan masyarakat untuk menyembunyikan motif yang sesungguhnya. Seorang pengamat berkomentar, “Pada permukaan, memang ada kesan perang antaragama. Sejatinya, konflik di Halmahera tidak dapat dipandang parsial, tapi terkait erat dengan perseteruan di kepulauan Maluku secara lebih luas, terutama karena persoalan politik dan ekonomi.”

Kalau demikian halnya, apakah yang harus kita lakukan sebagai sebuah bangsa dan sebagai orang yang mengaku sebagai murid-murid Yesus Kristus? Ada sejumlah sikap yang umumnya diambil orang ketika ia berhadapan dengan orang yang berkeyakinan lain:

1. Semua agama sama saja: Sikap ini melihat semua agama itu relatif. Tidak satu agama pun yang dapat dianggap baik. Semua sama baiknya atau sama jeleknya. Sikap seperti ini tidak menolong kita karena akibatnya kita akan kurang menghargai agama atau keyakinan kita sendiri. Kalau semua agama itu sama saja, mengapa saya memilih untuk menganut agama yang satu ini? Mengapa saya tetap menjadi seorang Kristen? Jangan-jangan menjadi Kristen pun sebetulnya bukan sesuatu yang penting dan berarti.

2. Hanya agama saya yang paling baik dan benar: Semua agama lainnya adalah ciptaan Iblis, penyesat, penipu, dan lain-lain. Sikap seperti ini hanya akan melahirkan fanatisme belaka, dan fanatisme tidak akan menolong kita dalam menjalin hubungan dengan orang yang berkeyakinan lain.

Orang yang beragama lain semata-mata dipandang sebagai obyek, sasaran, target, untuk diinjili. Orang yang bersikap seperti ini mungkin pula akan menjelek-jelekkan agama lain. Akan tetapi apakah keuntungannya bila kita menjelek-jelekkan agama lain? Apakah hal itu lalu akan membuat kita baik, bagus, dan indah? Sungguh kasihan sekali orang yang baru menemukan keindahan dan kebaikan agamanya dengan menjelekjelekkan agama lain, karena itu berarti bahwa sesungguhnya orang itu tidak mampu menemukan kebaikan dari agamanya sendiri.

3. Toleransi: saya bersedia hidup berdampingan dengan orang yang beragama lain, tetapi hanya itu saja. Lebih dari itu saya tidak mau. Seruan “toleransi antarumat beragama” seringkali disampaikan oleh pemerintah. Orang- orang yang berbeda agama diajak untuk bersikap toleran. Namun sikap ini pun tampaknya tidak cukup. Kata “toleransi” sendiri mengandung arti bertahan, siap menanggung sesuatu yang dianggap bersifat mengganggu atau menyakiti” 

Dengan demikian maka agama lain masih dianggap sebagai gangguan dan ancaman. Saya masih bersedia menolerir keberadaan mereka, sampai batas tertentu. Lewat dari batas itu, saya tidak bersedia lagi. Saya akan bertindak.

4. Menghargai agama lain: sikap ini hanya dapat timbul pada diri orang yang dewasa imannya, orang yang dapat menemukan kebaikan di dalam agama lain dan menghargainya, tanpa merasa terancam oleh kehadiran orang lain. Menghargai agama lain tidak berarti lalu kita merendahkan dan meremehkan keyakinan kita sendiri, melainkan menunjukkan kesediaan kita untuk terbuka dan belajar dari siapapun juga. Orang yang bersedia menghargai agama lain tidak akan merasa terancam bila orang lain menjalankan ibadahnya sesuai dengan perintah agama itu sendiri. Orang ini akan membuka diri dengan lapang untuk mendengarkan pengalaman keagamaan dan rohani orang-orang yang beragama lain. Orang-orang ini tidak segan-segan terlibat dalam forum-forum dialog antar umat beragama.

Membangun Kebersamaan dalam Perbedaan

Bagaimana caranya membangun sikap menghargai agama lain dan para pemeluknya? Seperti yang disebutkan sebelumnya, sikap ini hanya muncul dari orang-orang yang sudah matang dalam penghayatan keagamaan dan imannya. Hal itu terjadi dari proses belajar yang terus-menerus. Belajar dari buku dan belajar lewat proses perjumpaan dan persahabatan dengan orangorang yang berkepercayaan lain. 

Orang yang melewati hidupnya hanya di lingkungan orang-orang yang seagamanya saja dengan dirinya kemungkinan akan sulit menerima kehadiran orang yang beragama lain. Oleh karena itu, belajarlah tentang kehidupan orang-orang yang berbeda agamanya dengan kamu. Melalui pergaulan itu kamu akan mulai melihat bagaimana keyakinan itu diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari. Bahkan tidak mustahil kamu akan memperoleh banyak pengetahuan yang baru lewat pengalaman itu. Kosuke Koyama, seorang teolog Jepang, pernah mengatakan, “Mempelajari kehidupan orang Buddhis lebih menarik daripada mempelajari Buddhisme.” Hidup bersama dan berbagi dengan orang lain telah lama menjadi pola hidup bangsa Indonesia. 

Di berbagai tempat, orang-orang melakukan saling berkunjung kepada teman-teman dan saudara-saudara mereka yang berbeda keyakinan. Di hari raya Idul Fitri, orang-orang yang beragama Kristen mengunjungi dan mengucapkan selamat kepada teman-teman yang beragama Islam. Sebaliknya, di hari Natal, orang-orang yang beragama Islam dan agamaagama lain, berkunjung ke rumah teman-teman mereka yang beragama Kristen untuk mengunjungi dan mengucapkan selamat. Pihak keluarga Kristen pun biasanya menyediakan makanan yang disesuaikan dengan hukum-hukum agama tamu mereka.

Kata kuncinya di sini adalah keberanian untuk mendengarkan orang lain. Hal itu berarti bersikap terbuka terhadap apa yang dikatakan oleh orang lain tanpa menjadi defensif. Untuk itu, kita harus benar-benar mendalami keyakinan agama kita sendiri. Rasa takut dan sikap yang defensif hanya timbul dari diri orang yang tidak siap untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang dapat mengganggu keyakinan imannya.

Pertanyaan:

1. Bagaimana kamu dapat membangun kebersamaan dalam Perbedaan?

Komentar