GEREJA DAN MULTIKULTURALISME
Baca & Renungkan:
1. Efesus 2:11-21
Melalui surat Efesus, nampak jelas Paulus menekankan pentingnya persatuan di dalam tubuh gereja karena jika gereja terpecah karena perbedaan yang ada, maka hal itu sama sekali tidak berguna. Gereja adalah persekutuan orang-orang percaya yang di dalamnya tidak ada lagi pembedaan meskipun adanya perbedaan merupakan realitas yang tidak dapat dipungkiri.
Gereja adalah tubuh Kristus. Semua anggota gereja, baik orang Yahudi maupun non Yahudi dipersatukan oleh kasih Kristus dengan darahnya yang kudus. Gereja dipanggil menjadi alat Tuhan yang menyaksikan kasih Kristus di tengah dunia. Paulus menyadari jika berbagai perbedaan atau keberagaman dijadikan alasan untuk tidak saling bekerja sama maka pekerjaan pelayanan tidak akan dapat dilaksanakan, demikian pula persekutuan akan hancur, sehingga gereja seharusnya menghargai perbedaan.
Paulus melihat dan menggambarkan keragaman sebagai dasar untuk membentuk satu kesatuan. Keragaman dalam jemaat bukan untuk membuat anggota jemaat membandingkan diri satu dengan yang lain, bukan juga untuk menciptakan persaingan dan perpecahan, melainkan membentuk kesatuan yang dianalogikan sebagai satu tubuh Kristus.
Tugas Gereja, yakni bersekutu, bersaksi dan melayani akan semakin bertumbuh dan berkembang jika seluruh umat Kristen tidak mempersoalkan perbedaan-perbedaan yang ada namun memaknai perbedaan itu sebagai satu kekuatan yang sangat berguna bagi orang lain. Dan pada akhirnya, gereja yang sejati adalah gereja yang meletakkan Kristus sebagai batu penjuru, penopang yang membuat ”bangunan” tersebut dapat kokoh berdiri.
2. Galatia 3:26-28
Menurut Wikipedia, surat Galatia ditulis oleh Paulus dengan alasan tertentu. Paulus diberitahu bahwa jemaat di Galatia dikacaukan oleh pengajaran yang sesat. Surat Paulus ini juga ditulis di tengah-tengah hangatnya pergumulan di komunitas Yahudi pada saat itu. Orang-orang Yahudi ingin men-yahudi-kan segala jemaat dan mereka memasuki juga
jemaat yang didirikan oleh Paulus. Hal ini pun mendapat perlawanan dari Paulus karena ia adalah orang yang menghargai berbagai perbedaan latar belakang. Baginya, keberagaman bukanlah halangan untuk membangun kebersamaan. Orang Yudais mencoba meyakinkan orang-orang Galatia bahwa keselamatan harus dikerjakan dengan jalan menaati Hukum Taurat. Paulus pun mendapat cobaan dan tantangan dalam hal ini. Mereka sengaja melakukan hal tersebut untuk menghasut orang-orang Galatia untuk melawan Paulus.
Paulus memang tidak diteguhkan oleh rasul terdahulu secara formal menjadi rasul dan dia juga tidak menjadi murid Yesus ketika Yesus hidup. Bahkan Paulus tidak pernah melihat Yesus dengan mata kepalanya sendiri. Hal inilah yang dipertanyakan oleh orang yang menghasut untuk mempertanyakan dan meragukan kerasulan Paulus. Membaca isi surat Galatia ini, kita dapat menyimpulkan bahwa usaha tersebut hamper berhasil. Oleh karena itu, Paulus bereaksi dengan tegas, ia marah tetapi kemudian mengemukakan argumen yang kuat mengenai kerasulannya dan apa artinya menjadi pengikut Kristus tidak hanya berdasarkan keturunan tapi berdasarkan iman.
Paulus berpendapat bahwa tuntutan agar orang-orang bukan Yahudi yang telah bertobat tunduk terhadap Taurat telah merusak pesannya bahwa manusia dibenarkan karena imannya di dalam Kristus, bukan karena melakukan Taurat. Paulus dalam Surat Galatia dan Roma mengatakan bahwa Allah menganggap orang yang percaya kepada Kristus sebagai orang benar hanya karena imannya, sekalipun ia adalah orang berdosa. Kebenaran diberikan kepadanya, ia dinyatakan sebagai orang benar oleh karena anugerah Allah, sekalipun ia tetap berdosa.
Paulus menolak paham yang menekankan Hukum Taurat. Para penentang Paulus menekankan agar orang-orang non-Yahudi yang menerima Yesus sebagai Mesias harus terlebih dahulu menjadi orang Yahudi dan menaati hukum-hukum yang dipaparkan dalam Kitab Suci. Adapun Paulus mempertahankan bahwa cerita Kitab Kejadian mengenai Abraham menunjukkan bahwa yang dituntut dari keturunan Abraham terutama adalah iman. Bagi orang-orang non-Yahudi yang bertobat, iman itulah yang mempersatukan mereka dalam Kristus.
Kemudian apa kaitannya teks ini dengan multikulturalisme yang sedang dibahas dalam pelajaran ini? Sikap Paulus menyiratkan bahwa Allah tidak menolak keberagaman dan bahwa anak-anak Abraham (yang artinya orang beriman) bukan hanya mereka yang lahir dari keturunan Abraham secara biologis namun semua orang beriman. Artinya semua orang beriman dari berbagai latar belakang dan multikultur berbeda adalah keturunan Abraham. Sikap Paulus merupakan dukungan terhadap adanya keberagaman dalam jemaat Kristen mula-mula.
Multikulturalisme di Zaman Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru
1. Multikultur di Zaman Perjanjian Lama
Perjanjian Lama mencatat perbedaan budaya yang dipengaruhi agama karena ada hubungan yang erat antara agama dan budaya. Relasi itu tampak ndalam hubungan antara bangsa Israel dengan bangsa-bangsa Kanaan di sekitar yang menimbulkan berbagai pengaruh. Bangsa Israel berhadapan dengan kemajemukan budaya bangsa di sekitarnya, namun ketika bangsa Israel bersosialisasi dengan bangsa di sekeliling, mereka tidak selektif.
Efeknya, budaya-budaya bangsa sekitarnya yang negatif membawa bangsa Israel pada penyembahan berhala. Alkitab mencatat, sepanjang sejarah hakim-hakim sampai dengan bangsa Israel menuju ke pembuangan, Israel terjerat dengan penyembahan berhala yang dipengaruhi oleh budaya kafir bangsa-bangsa di tanah Kanaan
2. Multikulturalisme di Zaman Perjanjian Baru
Budaya bangsa Israel di zaman Perjanjian Baru dipengaruhi oleh warna-warni budaya dari beberapa bangsa yang pernah menjajah Israel, seperti Persia, Yunani dan Romawi. Secara khusus, saat itu bangsa Israel yang tersebar di luar Yerusalem sebagai pusat aktivitas rohanimembawa mereka pada konsep eksklusivisme sebagai umat pilihan Allah. Pada zaman Tuhan Yesus, Dia membawa pemikiran baru tentang pentingnya inklusivisme. Yesus tidak menutup diri dari kemajemukan kebudayaan. Yesus tidak memandang latar belakang budaya, suku maupun ras, Ia berkenan menerima semua orang dalam pergaulan multikultural.
Ketika seorang perempuan Kanaan hendak meminta tolong (Matius 15:21-28) dan seorang Perwira Roma meminta kesembuhan (Lukas 7:1-10), Yesus menjawab kebutuhan mereka dan menolong mereka. Ini menyatakan Yesus sendiri menghargai keberagaman dan perbedaan budaya.
Dalam Perjanjian Baru, jemaat multikultural secara eksplisit dicatat dalam Kisah Para Rasul 2:41-47 orang-orang yang berasal dari berbagai daerah dan berbagai budaya yang berbeda mendengarkan khotbah Petrus. Pada waktu itu ada tiga ribu orang bertobat, dan mereka menjadi model gereja pertama. Dalam perkembangan selanjutnya, terjadi masalah antara jemaat yang berbudaya Yunani dan Yahudi.
Perbedaan budaya antara Yahudi dan Yunani menimbulkan banyak persoalan dalam beberapa jemaat, seperti di Roma dan Korintus. Perpecahan dan perselisihan tersebut timbul hanya karena mengenai kebiasaan-kebiasaan jemaat (1 Korintus 11). Namun, Paulus menegaskan bahwa sekarang tidak ada lagi orang Yunani atau Yahudi, tidak ada orang bersunat maupun tidak bersunat, tidak ada budak atau orang merdeka. Semua orang sama di hadapan Allah, semua menjadi satu jemaat dimana kepalanya adalah Yesus Kristus.
Gereja dan Multikulturalisme
Multikultur bukanlah sesuatu yang asing bagi gereja-gereja di Asia pada umumnya dan gereja-gereja di Indonesia. Keberagaman suku, bangsa, budaya, adat istiadat serta berbagai kebiasaan telah turut mewarnai perjalanan gerejagereja di Asia dan Indonesia. Menurut pakar sosiologi, tidak ada wilayah yang amat beragam seperti di Asia. Masyarakat Asia adalah masyarakat yang multikultur.
Hope S.Antone (Pendidikan Kristiani Kontekstual, 2010) menulis bahwa dunia Alkitab ditandai oleh kemajemukan atau keanekaragaman budaya dan agama. Di zaman Abraham dipanggil di tanah Haran masyarakat amat beragam dan tiap suku memiliki pemahaman terhadap “Allahnya” sendiri.
Demikian pula di tanah Kanaan di tempat di mana Abraham dan Sara hidup sebagai pendatang. Menurut Hope di tanah Kanaan setiap suku memiliki pandangannya sendiri terhadap yang Ilahi. Di tengah situasi seperti itulah Abraham dan Sara dan kemudian bangsa Israel membangun kepercayaannya terhadap Allah yang mereka sembah. Dalam konteks Yesus juga ditandai oleh keberagaman, Yesus tumbuh dalam tradisi iman komunitas-Nya, dalam tradisi agama Yahudi sendiri. Di zaman setelah Yesus, kekristenan tumbuh dan berakar dalam budaya Yahudi dan Yunani helenis.
Menurut Wikipedia Indonesia, masyarakat multikultura adalah suatu masyarakat yang terdiri dari berbagai elemen, baik itu suku, ras, agama, pendidikan, ekonomi, politik, bahasa, dan lain-lain yang hidup dalam suatu kelompok masyarakat, jadi ada unsur keberagaman. Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budayam (multikultural) yang ada dalam kehidupan masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Dalam Kitab Efesus 2:11-21 Paulus menjelaskan mengenai dipersatukan dalam Kristus. Ia memfokuskan pembahasannya pada pekerjaan penebusan, rekonsiliasi dan merubuhkan tembok-tembok pemisah antarumat. Jadi, jika kita satu di dalam Kritus maka kita terlepas dari perbedaan suku, ras, budaya maupun status sosial ekonomi. Kegiatan tersebut sudah merubuhkan tembok pemisah dalam berbagai perbedaan, maka kita menjadi satu dalam Kristus. Sebagaimana Kristus telah menerima kita tanpa syarat maka kita pun wajib saling menerima satu dengan yang lain. Menjadi satu dalam Kristus memungkinkan gereja menjadi satu. Dalam Kitab Galatia 3:26-28, Paulus mengatakan kita memiliki identitas baru melalui Kristus. Tidak ada diskriminasi dalam Kristus, kita semua sama di hadapan Allah.
Multikulturalisme dan Sinkretisme
Konteks gereja-gereja Asia adalah kemajemukan di mana multikultur merupakan kenyataan yang tidak dapat ditolak dan diabaikan. Antoni S. Hope dengan mengutip seorang ahli Biblika dari Sri Lanka, Daniel Thiagarajah yang mengatakan bahwa : “misi Allah adalah gerakan Allah melawat umat- Nya. Dalam dirinya sendiri misi gereja mengambil langkah baru untuk maju.
Setiap pembicaraan manapun mengenai Allah yang secara autentik mengklaim bersifat Asia harus memperhatikan kompleksitas situasi di Asia di mana kita dipanggil untuk hidup, mewartakan dan merayakan iman kita. Berteologi tidak pernah dapat dilakukan dalam suatu ruang kosong, tetapi harus selalu dilakukan dalam hubungan dengan situasi hidup yang aktual. Oleh sebab itu, meskipun misi gereja adalah mission Dei atau misi Allah, namun tidak boleh terlepas dari konteks”.
Ada kekhawatiran seolah-olah jika gereja turut memperjuangkan multikulturalisme maka gereja jatuh ke dalam sinkretisme. Multikulturalisme bukanlah sinkretisme karena multikulturalisme tidak mengorbankan misi Allah. Bahkan melalui multikulturalisme misi Allah lebih dipertegas lagi, terutama ketika Allah mengatakan pada Abraham “karena Engkau maka segala bangsa di muka bumi akan diberkati”. Memperkuat pernyataan itu, kita dapat mengacu pada Kitab Efesus 2:11-21, Galatia 3:26-28 bahwa di dalam Yesus tidak ada orang Yahudi maupun orang Yunani, tidak ada budak maupun orang merdeka, kita semua adalah satu di dalam Yesus Kristus.
Belajar dari Yesus
Yesus menjadikan multikultur sebagai wacana perjumpaan antarmanusia yang dapat bergaul dan bekerja sama dalam kasih. Mengenai sikap Yesus, kita dapat mencatat beberapa pokok pikiran dari Hope S.Antone dalam kaitannya dengan multikulturalisme. Antara lain:
1. Kesetiaan Yesus ditujukan kepada Allah bukan kepada institusi maupun praktik agama yang sudah mapan. Konsekuensi dari sikap itu adalah Ia mengasihi manusia tanpa kecuali. Kemanusiaan, keadilan dan perdamaian amat penting bagi-Nya. Itulah cara Yesus memperlihatkan kesetiaan-Nya kepada Allah. Sikap ini menyebabkan Ia tidak disukai oleh kaum Farisi dan ahli Taurat yang begitu setia kepada lembaga agamanya melebihi Allah sendiri.
Mereka mempraktikkan tradisi dan hukum agama secara turuntemurun namun lupa untuk mewujudkan hukum itu dalam kehidupan nyata sebagai umat Allah. Kritik-kritik Yesus amat keras ditujukan pada mereka. Praktik agama dan ajarannya bukan hanya dipelajari, dihafal dan diwujudkan dalam penyembahan namun terutama harus diwujudkan dalam kehidupan dengan sesama. Itulah sebabnya Kitab Amos mengkritik orang Israel bahwa Allah menghendaki mereka taat menjalankan ibadah, namun harus mempraktikkan keadilan dan kebenaran, itulah ibadah yang sejati.
Kasih dan solidaritas Yesus ditujukan bagi semua orang tanpa kecuali, orang dari berbagai suku, tradisi, budaya bahkan yang tidak mengenal Allah yang disembah-Nya pun ditolong oleh-Nya. Itulah wujud kesetiaan Yesus pada Allah.
2. Yesus memperkenalkan visi baru mengenai komunitas baru di bawah pemerintahan Allah. Sebuah komunitas yang melampaui berbagai perbedaan latar belakang. Sebuah komunitas yang memiliki hubunganhubungan yang baru dimana tidak ada pembedaan dan perendahan antara: kali-laki maupun perempuan, budak ataupun orang merdeka, orang Yahudi maupun Yunani. Semua orang sama di hadapan Allah dan memiliki tempat yang sangat penting dalam komunitas baru yang terbentuk karena kedatangan Yesus.
3. Kita juga belajar dari Yesus bahwa walaupun identitas pribadi, rasial, suku, kelas sosial maupun keagamaan merupakan kenyataan sosiologis, namun myang lebih penting adalah bagaimana dalam segala perbedaan yang ada umat manusia memuliakan Allah dengan melakukan kehendak-Nya. Dalam sikap ini, untuk multikultur mungkin tidak akan dipermasalahkan tetapi ketika prinsip ini dikaitkan dengan perbedaan iman (agama), apakah hal ini dapat dibenarkan? Hal ini dibahas dalam pelajaran mengenai sikap terhadap orang yang berbeda iman.
Namun demikian, dapat diklarifikasi dalam penjelasan disini bahwa dalam kaitannya dengan agama lain, kita dapat mengembangkan toleransi dalam hal solidaritas dan kebersamaan tanpa kehilangan identitas sebagai orang Kristen. Artinya, orang beragama lain pun dapat melakukan kehendak Allah menurut ajaran agamanya, menolong dan mengasihi sesama.
4. Melakukan kehendak Allah dapat dilakukan dalam kemitraan dengan orang lain, baik itu sesama orang Kristen maupun orang lain yang berbeda suku, bangsa, budaya, adat istiadat, bahasa, kebiasaan, status sosial, maupun agama. Tidak ada seorang manusia pun yang mampu melakukan berbagai hal sendirian. Dalam segala aspek kehidupan kita membutuhkan orang lain untuk saling mengisi dan saling membantu.
Bentuk Nyata Multikulturalisme dalam Gereja Kristen di Indonesia
Berikut ini merupakan fakta bahwa gereja-gereja Kristen mewujudkan multikulturalisme meskipun masih ada banyak tantangan yang harus dihadapi.
1. Gereja-gereja Kristen memiliki anggota yang terbuka dari segi suku, budaya, bahasa, daerah asal maupun kebangsaan.
2. Gereja-gereja Kristen juga mengadopsi beberapa unsur budaya local yang dimasukkan ke dalam liturgi ibadah. Mulai dari lagu, musik. berbagai kebiasaan dan prinsip hidup lokal dapat diadaptasi dalam rangka memperkaya pemahaman iman Kristen. Misalnya, mengenai persaudaraan yang rukun dalam budaya masyarakat suku yang dapat dikembangkan dalam rangka membangun kebersamaan dalam jemaat sebagaimana ditulis dalam Kitab Kisah Para Rasul.
3. Berbagai pelayanan gereja ditujukan bagi masyarakat secara umum tanpa memandang daerah asal, budaya, adat istiadat, kelas sosial dan agama. Tingkat kesadaran gereja dalam partisipasi di tengah masyarakat cukup signifikan.
4. Banyak gereja yang kini melakukan studi kebudayaan untuk menggali kembali unsur unsur budaya yang terancam hilang dari masyarakatnya. Misalnya di Nusa Tenggara Timur (NTT), Lembaga Alkitab bekerja sama dengan gereja melakukan penerjemahan Alkitab ke dalam bahasa-bahasa daerah di hampir seluruh daerah yang ada di NTT.
5. Gereja-gereja Kristen membangun dialog dan kerja sama dengan umat beragama lain, khususnya di bidang kemanusiaan dan keadilan. Ada tim advokasi hukum, ada pelayanan kesehatan yang memberikan pelayanan bagi semua orang tanpa memandang perbedaan latar belakang budaya maupun agama.
Beberapa Tantangan yang Dihadapi Gereja dalam Mewujudkan Multikulturalisme
Berikut beberapa tantangan yang dihadapi gereja dalam mewujudkan multikulturalisme.
1. Di kalangan gereja tertentu warisan kolonial yang bersifat anti budaya lokal masih mempengaruhi gereja dalam mewujudkan multikulturalisme. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu dan pencerahan untuk mengubah pola pikir gereja-gereja seperti itu.
2. Berbagai prasangka terhadap orang-orang dari kalangan suku, budaya dan daerah tertentu.
3. Individualistik. Berbagai tantangan dan beban hidup yang berat menyebabkan banyak orang lebih mementingkan kepentingan diri sendiri maupun kelompok. Akibatnya kepentingan orang lain maupun kelompok lain tidak penting lagi. Namun, pada sisi lain, masyarakat masa kini yang mengglobal memiliki satu ikatan solidaritas yang diikat oleh media sosial, misalnya twitter, facebook, instagram, dan lain-lain. Masyarakat dunia akan cepat memberi reaksi dan simpati terhadap peristiwa-peristiwa kemanusiaan yang dimuat di youtube ataupun media sosial lain. Contoh ketika terjadi tsunami di Aceh pada tahun 2010, bantuan datang dari berbagai belahan dunia.
Pertanyaan:
1. Sebutkan bagaimana sikap Yesus terhadap multikultur.
1. Kesetiaan Yesus ditujukan kepada Allah bukan kepada institusi maupun praktik agama yang sudah mapan. Konsekuensi dari sikap itu adalah Ia mengasihi manusia tanpa kecuali. Kemanusiaan, keadilan dan perdamaian amat penting bagi-Nya. Itulah cara Yesus memperlihatkan kesetiaan-Nya kepada Allah. Sikap ini menyebabkan Ia tidak disukai oleh kaum Farisi dan ahli Taurat yang begitu setia kepada lembaga agamanya melebihi Allah sendiri.
BalasHapusMereka mempraktikkan tradisi dan hukum agama secara turuntemurun namun lupa untuk mewujudkan hukum itu dalam kehidupan nyata sebagai umat Allah. Kritik-kritik Yesus amat keras ditujukan pada mereka. Praktik agama dan ajarannya bukan hanya dipelajari, dihafal dan diwujudkan dalam penyembahan namun terutama harus diwujudkan dalam kehidupan dengan sesama. Itulah sebabnya Kitab Amos mengkritik orang Israel bahwa Allah menghendaki mereka taat menjalankan ibadah, namun harus mempraktikkan keadilan dan kebenaran, itulah ibadah yang sejati.
Kasih dan solidaritas Yesus ditujukan bagi semua orang tanpa kecuali, orang dari berbagai suku, tradisi, budaya bahkan yang tidak mengenal Allah yang disembah-Nya pun ditolong oleh-Nya. Itulah wujud kesetiaan Yesus pada Allah.
2. Yesus memperkenalkan visi baru mengenai komunitas baru di bawah pemerintahan Allah. Sebuah komunitas yang melampaui berbagai perbedaan latar belakang. Sebuah komunitas yang memiliki hubunganhubungan yang baru dimana tidak ada pembedaan dan perendahan antara: kali-laki maupun perempuan, budak ataupun orang merdeka, orang Yahudi maupun Yunani. Semua orang sama di hadapan Allah dan memiliki tempat yang sangat penting dalam komunitas baru yang terbentuk karena kedatangan Yesus.
3. Kita juga belajar dari Yesus bahwa walaupun identitas pribadi, rasial, suku, kelas sosial maupun keagamaan merupakan kenyataan sosiologis, namun myang lebih penting adalah bagaimana dalam segala perbedaan yang ada umat manusia memuliakan Allah dengan melakukan kehendak-Nya. Dalam sikap ini, untuk multikultur mungkin tidak akan dipermasalahkan tetapi ketika prinsip ini dikaitkan dengan perbedaan iman (agama), apakah hal ini dapat dibenarkan? Hal ini dibahas dalam pelajaran mengenai sikap terhadap orang yang berbeda iman.
Namun demikian, dapat diklarifikasi dalam penjelasan disini bahwa dalam kaitannya dengan agama lain, kita dapat mengembangkan toleransi dalam hal solidaritas dan kebersamaan tanpa kehilangan identitas sebagai orang Kristen. Artinya, orang beragama lain pun dapat melakukan kehendak Allah menurut ajaran agamanya, menolong dan mengasihi sesama.
4. Melakukan kehendak Allah dapat dilakukan dalam kemitraan dengan orang lain, baik itu sesama orang Kristen maupun orang lain yang berbeda suku, bangsa, budaya, adat istiadat, bahasa, kebiasaan, status sosial, maupun agama. Tidak ada seorang manusia pun yang mampu melakukan berbagai hal sendirian. Dalam segala aspek kehidupan kita membutuhkan orang lain untuk saling mengisi dan saling membantu